Apa Hukum Suami Memaafkan Istri Selingkuh Menurut Syariat Islam?

Sahabat, ada satu momen yang bisa meruntuhkan dunia seorang suami saat ia menemukan bukti bahwa istri yang paling ia percaya telah berkhianat. Akan tetapi, di tengah badai amarah dan sakit hati, situasi menjadi lebih rumit ketika sang istri datang bersimpuh sambil menangis memohon ampun. Maka dari itu, seorang suami pun menghadapi persimpangan jalan tersulit dalam hidupnya, antara memilih jalan perceraian yang menyakitkan, atau proses memaafkan yang jauh lebih berat. Di sinilah muncul pertanyaan mendasar tentang bagaimana hukum suami memaafkan istri selingkuh menurut pandangan Islam.

Pertanyaan ini bukan lagi sekadar drama di film. Ini adalah realita yang banyak suami hadapi di luar sana, mungkin termasuk seseorang yang sedang membaca tulisan ini dalam diam. Apa yang harus ia lakukan? Mana jalan yang Allah ridhai?

Yuk, kita bedah tuntas dilema ini. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mencari cahaya petunjuk dari Islam, agama yang memahami betul kompleksitas hati manusia.

‘Perjanjian Super Kuat’ yang Tercabik oleh Pengkhianatan

Sebelum kita bicara soal lanjut atau cerai, kita harus paham dulu betapa sakralnya pernikahan dalam Islam. Al-Qur’an tidak menyebutnya sekadar ‘kontrak’, tapi mitsaqan ghalizha—sebuah perjanjian yang sangat kuat dan agung (QS. An-Nisa: 21). Ini adalah perjanjian yang disaksikan langsung oleh Allah dan para malaikat-Nya.

Ketika salah satu pihak, dalam hal ini istri, melakukan perselingkuhan (zina), maka ia tidak hanya melukai hati suaminya. Ia telah mencabik-cabik perjanjian agung itu. Allah sangat membenci zina, salah satu dosa besar (kabair) yang merusak kehormatan, nasab (keturunan), dan ketentraman masyarakat.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

Karena beratnya dosa ini, Islam memberikan suami hak yang jelas dan tegas. Namun, di saat yang sama, Islam juga membuka pintu yang sangat luas bagi ampunan dan perbaikan. Di sinilah letak keindahan dan keadilan syariat.

Dua Pilihan Sah di Hadapan Allah

Saat menghadapi situasi ini, seorang suami memiliki dua pilihan yang sama-sama sah di mata syariat. Tidak ada yang lebih benar atau lebih salah. Keduanya adalah jalan keluar yang disediakan oleh Allah.

Pilihan A: Hak untuk Menceraikan (Jalan Ketegasan dan Menjaga Kehormatan)

Islam memberikan hak talak (cerai) sepenuhnya di tangan suami. Ketika seorang istri terbukti berzina, suami berhak penuh untuk menceraikannya. Ini bukan tindakan kejam atau emosional. Ini adalah keputusan yang dibenarkan syariat untuk:

  • Menjaga Kehormatan Diri (‘Irdh). Seorang suami memiliki kewajiban untuk menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Mempertahankan istri yang tidak mau bertaubat dari perzinaan bisa merusak kehormatan tersebut.
  • Mencegah Kerusakan Lebih Lanjut. Jika perselingkuhan terus berlanjut, ini bisa merusak nasab dan masa depan anak-anak.
  • Menutup Pintu Fitnah. Melanjutkan rumah tangga dengan pengkhianatan yang terus terjadi hanya akan menjadi sumber penderitaan dan fitnah yang berkepanjangan.

Pilihan B: Peluang untuk Memaafkan (Jalan Keberanian dan Pahala Besar)

Pilihan kedua adalah memaafkan dan melanjutkan rumah tangga. Ini seringkali jalan yang lebih terjal dan butuh kekuatan hati yang luar biasa. Namun, pahalanya di sisi Allah juga luar biasa besar. Allah SWT, Sang Maha Pemaaf, sangat mencintai hamba-Nya yang juga pemaaf.

“…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)

Ayat ini seolah bertanya langsung kepada kita: “Kamu ingin Aku ampuni dosa-dosamu? Maka, ampunilah kesalahan orang lain.” Jadi, hukum suami memaafkan istri selingkuh adalah boleh (mubah), bahkan bisa menjadi amalan yang sangat mulia.

Tapi, ada satu syarat mutlak yang tidak bisa ditawar: Maaf hanya berlaku jika istri benar-benar bertaubat dengan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh).

‘Taubat Nasuha’ Ini Bukan Sekadar Kata Maaf di Bibir

Sahabat, inilah bagian paling krusial. Memaafkan istri yang belum benar-benar bertaubat itu ibarat membangun rumah di atas pasir hisap. Cepat atau lambat, akan hancur lagi. Taubat Nasuha itu bukan cuma nangis-nangis dan bilang “Aku nyesel.” Ia punya 4 pilar yang harus terpenuhi, yang bisa kamu jadikan ‘checklist’ untuk menilai kesungguhannya:

  1. Menyesal Sejadi-jadinya (An-Nadam): Apakah ia menunjukkan penyesalan yang mendalam dari hati, bukan hanya karena ketahuan? Apakah ia mengakui kesalahannya sebagai dosa besar kepada Allah, bukan sekadar ‘khilaf’ kepada suami?
  2. Berhenti Total dari Dosa (Al-Iqla’): Apakah ia sudah memutus semua kontak dan akses komunikasi dengan selingkuhannya? Ini tidak bisa ditawar. Tidak ada lagi alasan “cuma teman” atau “kasihan”. Semua pintu menuju maksiat itu harus ditutup rapat-rapat.
  3. Bertekad Kuat untuk Tidak Mengulangi (Al-‘Azm): Apakah ada komitmen yang kuat dan janji yang tulus di hadapan Allah untuk tidak akan pernah kembali ke jalan yang salah itu?
  4. Berusaha Memperbaiki yang Rusak (Ishlah): Taubat bukan cuma soal berhenti berbuat buruk, tapi juga aktif berbuat baik. Apakah ia menjadi lebih taat dalam ibadahnya? Apakah ia berusaha ekstra keras untuk melayanimu dan memperbaiki hubungan?

Jika keempat pilar ini terlihat nyata, maka pintu maaf layak untuk dipertimbangkan. Namun jika salah satunya saja tidak ada, maka memaafkan bisa menjadi sebuah perjudian yang sangat berisiko.

Memaafkan Itu Proses, Bukan Tombol Reset

Dari sisi psikologi, memaafkan pengkhianatan adalah salah satu proses penyembuhan paling sulit. Luka itu tidak akan hilang dalam semalam. Akan ada hari-hari di mana rasa curiga muncul kembali. Akan ada momen di mana bayangan masa lalu tiba-tiba melintas.

Suami yang memilih jalan ini harus siap dengan ‘efek samping’ ini. Ia butuh kesabaran (sabr) tingkat tinggi dan kemampuan untuk tidak mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu jika sang istri sudah benar-benar berubah. Ini adalah jihad melawan ego dan rasa sakit di dalam diri sendiri.

Baca Juga: Bisakah Perselingkuhan Diampuni? Tips Membangun Kembali Kepercayaan

Bagaimana Jika Ada Anak?

Kehadiran anak seringkali menjadi faktor pemberat dalam pengambilan keputusan. Banyak suami bertahan “demi anak”. Islam memandang ini sebagai pertimbangan yang mulia. Namun, para ulama dan psikolog mengingatkan:

  • Anak yang tumbuh di tengah rumah tangga yang penuh pertengkaran, kecurigaan, dan tanpa kehangatan bisa jadi lebih terluka daripada anak dari orang tua yang berpisah secara baik-baik.
  • Jika memaafkan dan melanjutkan rumah tangga bisa menciptakan lingkungan yang kembali sehat dan harmonis, maka itu adalah pilihan terbaik untuk anak.
  • Namun, jika rumah tangga hanya dipertahankan secara status tapi isinya ‘neraka’, maka perceraian yang damai bisa jadi pilihan yang lebih sedikit mudharatnya.

Kuncinya adalah: pilihlah jalan yang akan memberikan lingkungan tumbuh kembang terbaik bagi mental dan spiritual anak-anakmu.

Checklist Refleksi untuk Suami yang Berada di Persimpangan

Sahabat, tidak ada orang lain yang bisa membuat keputusan ini untukmu. Mintalah petunjuk kepada Allah melalui shalat Istikharah. Sambil menunggu jawaban dari-Nya, coba renungkan beberapa pertanyaan ini dengan jujur:

  1. Tentang Istri: Apakah saya melihat 4 pilar Taubat Nasuha dalam dirinya secara nyata? Ataukah ini hanya penyesalan sesaat karena takut kehilangan?
  2. Tentang Diri Sendiri: Apakah saya punya kekuatan mental untuk melalui proses memaafkan yang panjang ini? Sanggupkah saya untuk tidak mengungkit-ungkit kesalahannya di masa depan?
  3. Tentang Rumah Tangga: Apakah masih ada cinta dan pondasi yang bisa diperbaiki? Ataukah pengkhianatan ini sudah menghancurkan segalanya hingga tak bersisa?
  4. Tentang Anak-anak: Lingkungan seperti apa yang akan saya ciptakan untuk mereka jika saya memilih lanjut? Dan seperti apa jika saya memilih berpisah? Mana yang lebih baik untuk masa depan mereka?

Penutup

Sahabat, pada akhirnya, hukum suami memaafkan istri selingkuh adalah boleh, dengan syarat taubat yang sungguh-sungguh. Namun, itu bukanlah sebuah kewajiban. Menceraikan istri yang berkhianat juga merupakan hakmu yang dilindungi syariat.

Apapun pilihan yang kamu ambil, dasarilah keputusanmu pada pertimbangan yang matang, niat untuk mencari ridha Allah, dan doa memohon petunjuk-Nya. Jangan membuat keputusan ketika emosi amarah mengendalikanmu. Tenangkan dirimu, dekatkan dirimu pada-Nya, dan pilihlah jalan yang akan membawamu pada ketenangan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Perbaiki yang Retak, Mulai dari Diri Sendiri

Dilema ini adalah ujian yang sangat berat, yang menuntut kita untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, yaitu pemaaf, sabar, sekaligus tegas. Salah satu cara terbaik untuk menenangkan hati yang sedang kalut dan menjernihkan pikiran adalah dengan menyibukkan diri dalam kebaikan untuk orang lain.

Saat Allah sedang menguji rumah tangga kita, mengalihkan sebagian energi kita untuk membantu ‘rumah tangga’ lain yang sedang kesulitan secara finansial bisa menjadi terapi spiritual yang luar biasa.

Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk menyalurkan sebagian rezekimu untuk para janda dhuafa dan anak-anak yatim. Mereka adalah orang-orang yang juga merasakan ‘keretakan’ dalam hidup mereka.

Dengan membahagiakan mereka, kita seolah sedang ‘memantaskan diri’ di hadapan Allah untuk menerima kebahagiaan dan jalan keluar terbaik atas masalah kita sendiri. Maka, ini adalah cara kita ‘bernegosiasi’ dengan langit, mengubah rasa sakit menjadi ladang pahala.

Yuk, jangan biarkan hatimu larut dalam kesedihan. Ubah energimu menjadi aksi kebaikan. Salurkan sedekah terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Semoga dengan membantu memperbaiki ‘keretakan’ hidup mereka, Allah bantu perbaiki apa yang retak dalam hidupmu.

Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

Barcode Nomer CS 2025 (Yuli)

“Menebar Sejuta Kebaikan”

Tinggalkan komentar