Sahabat, pernah kepikiran nggak sih, gimana rasanya jadi sopir pribadi seorang pejabat yang kita tahu korup? Atau jadi tim katering yang nyiapin makanan mewah di istana, sementara di luar gerbang banyak rakyat yang kelaparan? Mungkin juga jadi staf IT yang memastikan jaringan internet di gedung pemerintahan lancar, padahal kebijakan yang lahir dari gedung itu justru menyusahkan rakyat.
Ini adalah dilema moral yang nyata dan seringkali tidak terucap. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk menafkahi keluarga. Pekerjaan adalah pekerjaan. Tapi di sisi lain, ada bisikan nurani yang bertanya, “Apakah dengan bekerja di sini, aku ikut andil dalam kezalimannya? Apakah gajiku ini berkah?“
Pertanyaan ini bukan cuma soal politik, tapi soal iman. Karena dalam Islam, setiap langkah, setiap pekerjaan, dan setiap rupiah yang kita terima akan dipertanggungjawaban. Jadi, di mana sebenarnya garis batasnya? Apakah semua yang bekerja di lingkaran penguasa zalim otomatis ikut menanggung dosanya? Yuk, kita bedah tuntas masalah bekerja untuk pemimpin zalim ini dengan kacamata syariat yang adil dan penuh hikmah.
Prinsip Dasar Islam: Keadilan Itu Harga Mati
Sebelum kita masuk ke detail peran, kita harus pegang dulu prinsip dasarnya. Islam adalah agama yang berdiri di atas fondasi keadilan (‘adl) dan menentang keras segala bentuk kezaliman (zhulm). Allah SWT berfirman dalam ayat yang sering kita dengar saat khutbah Jumat:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)
Ayat ini adalah ‘konstitusi’ moral umat Islam. Karena itu, segala bentuk dukungan terhadap kezaliman, sekecil apapun, pada dasarnya dilarang. Namun, Islam juga agama yang realistis dan memahami kompleksitas kehidupan. Tidak semua hal bisa dipukul rata.
‘Garis Merah’ Ketaatan
Kunci untuk memahami dilema ini ada pada sebuah hadis yang menjadi ‘garis merah’ atau red line yang tidak bisa ditawar-awar:
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq).” (HR. Ahmad, Shahih)
Hadis ini super jelas, sahabat. Loyalitas tertinggi kita bukanlah kepada bos, direktur, atau bahkan presiden, melainkan kepada Allah SWT. Artinya, kita wajib taat pada atasan selama perintahnya baik atau setidaknya netral (tidak melanggar syariat). Tapi begitu perintah itu jelas-jelas mengandung dosa, kezaliman, atau menyakiti orang lain, maka kewajiban untuk taat gugur seketika.
Dari sinilah kita bisa mulai membedah hukum bekerja untuk pemimpin zalim berdasarkan peran dan tingkat keterlibatan.
Beda Peran, Beda Hukum. ‘Tim Netral’ vs ‘Tim Pendukung Kezaliman’
Tidak semua orang yang bekerja di lingkungan penguasa zalim punya peran yang sama. Mari kita bagi menjadi dua kategori besar:
1. ‘Tim Netral’: Para Pekerja Lapis Pendukung
Ini adalah mereka yang pekerjaannya secara substansi tidak berhubungan langsung dengan proses pembuatan atau eksekusi kebijakan zalim. Peran mereka lebih bersifat teknis dan umum. Contohnya:
- Petugas Kebersihan: Membersihkan lantai kantor pemerintahan.
- Sopir: Mengantar pejabat dari satu tempat ke tempat lain.
- Staf IT: Memastikan server dan jaringan berfungsi normal.
- Juru Masak atau Katering: Menyiapkan makanan untuk para pegawai.
- Satpam: Menjaga keamanan fisik gedung dari ancaman kriminal.
Bagaimana hukumnya? Mayoritas ulama berpendapat bahwa bekerja dalam peran-peran ini tidak otomatis membuat seseorang berdosa, selama niatnya murni untuk mencari nafkah yang halal dan pekerjaannya sendiri tidak haram. Mereka tidak ikut merancang, memutuskan, atau mengeksekusi kezaliman. Namun, ada catatan penting, yaitu hati mereka harus tetap membenci kezaliman yang terjadi dan tidak boleh meridhai perbuatan pemimpin tersebut.
2. ‘Tim Pendukung Kezaliman’: Para Aktor Intelektual dan Eksekutor
Nah, ini adalah kategori yang berbeda. Mereka adalah orang-orang yang perannya secara aktif dan langsung mendukung, melanggengkan, atau melaksanakan kezaliman sang pemimpin. Contohnya:
- Staf Ahli atau Penasihat: Yang memberikan masukan dan merancang draf undang-undang atau kebijakan yang menindas rakyat.
- Tim Buzzer atau Propagandis: Yang dibayar untuk menyebarkan hoaks, memutarbalikkan fakta, dan membangun citra palsu untuk menutupi kebobrokan pemimpin. Ini adalah bentuk fitnah dan kedustaan yang dosanya sangat besar.
- Aparat Represif: Pasukan keamanan yang dengan sengaja dan sadar menggunakan kekerasan yang tidak proporsional terhadap rakyat yang menyuarakan kebenaran.
- Hakim atau Jaksa ‘Pesanan’: Yang menggunakan hukum untuk menghukum orang-orang yang tidak bersalah dan melindungi para penjahat.
Bagaimana hukumnya? Bekerja dalam peran-peran ini jelas haram dan berdosa besar. Mereka bukan lagi sekadar pekerja, tapi sudah menjadi bagian dari mesin kezaliman itu sendiri. Mereka adalah ‘tangan kanan’ dan ‘lidah’ dari pemimpin zalim tersebut. Allah SWT berfirman:
“…Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS. Al-Ma’idah: 2)

Prinsip Fiqih: Semakin Dekat, Semakin Berbahaya
Para ulama merumuskan sebuah kaidah yang sangat relevan: “Al-qurbu minazh-zhulmi qurbun minal-itsm”. Semakin dekat seseorang dengan (pusaran) kezaliman, semakin dekat pula ia dengan dosa.
Ini seperti berada di dekat api. Seorang petugas kebersihan mungkin hanya merasakan hawa hangatnya dari kejauhan. Tapi seorang juru bicara yang membela kebohongan pemimpinnya, ia sedang menari-nari di dalam api itu sendiri.
Realita yang Sulit
Kita harus jujur, sahabat. Teori di atas terdengar ideal, tapi realita di lapangan seringkali lebih rumit. Banyak orang yang terpaksa mengambil pekerjaan di ‘Tim Netral’ bukan karena pilihan, tapi karena keterdesakan ekonomi. Seorang ayah yang menjadi sopir pejabat mungkin tidak punya banyak pilihan lain untuk menafkahi anak-istrinya.
Islam memahami kondisi darurat (dharurah) ini. Namun, yang membedakan adalah pilihan dan pengaruh. Seorang sopir mungkin punya sedikit pilihan. Tapi seorang sarjana hukum brilian yang ditawari menjadi staf ahli punya pilihan yang lebih luas. Jika ia tetap memilih untuk merancang UU yang zalim demi jabatan dan fasilitas, maka pertanggungjawabannya di hadapan Allah jauh lebih berat.
Baca Juga: Perintah Atasan vs Nurani, Wajibkah Taat pada Pemimpin yang Zalim?
Teladan Para Ulama Salaf
Sejarah Islam penuh dengan kisah para ulama yang menunjukkan integritas tingkat dewa saat berhadapan dengan penguasa zalim.
- Imam Abu Hanifah: Beliau menolak mentah-mentah tawaran untuk menjadi hakim agung (qadhi qudhat) dari khalifah yang dianggapnya zalim. Beliau lebih memilih dipenjara dan disiksa daripada harus menjadi stempel legitimasi bagi penguasa.
- Imam Malik: Beliau pernah dicambuk karena mengeluarkan fatwa yang tidak sesuai dengan keinginan gubernur Madinah saat itu. Tapi beliau tetap teguh pada ilmunya.
Sikap mereka mengajarkan kita bahwa kehormatan ilmu dan prinsip kebenaran jauh lebih berharga daripada kenyamanan sesaat di bawah naungan kekuasaan.
Bekerja dengan ‘Firewall’ Iman
Jika sahabat berada dalam posisi yang sulit dan harus bekerja di lingkungan seperti ini, Islam memberikan jalan tengah. Ini adalah cara memasang ‘firewall’ iman agar kita tidak ikut terseret dalam arusnya:
- Luruskan Niat Setiap Hari. Niatkan bekerja murni untuk mencari nafkah yang halal bagi keluarga, bukan untuk mengabdi atau mendukung kezaliman pemimpin.
- Tegakkan ‘Garis Merah’. Punya prinsip yang jelas. Jika suatu saat kamu diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas zalim (misalnya, membuat laporan palsu), beranilah untuk menolak dengan cara yang bijak.
- Gunakan Posisi untuk Kebaikan (Jika Memungkinkan). Jika posisimu memungkinkan, jadilah ‘agen kebaikan’ dari dalam. Bantu orang-orang yang dizalimi, berikan informasi yang benar kepada sesama rekan kerja, atau setidaknya, jangan menjadi bagian dari masalah.
- Terus Berdoa dan Cari Jalan Keluar. Selalu berdoa agar Allah melindungimu dan membukakan pintu rezeki lain yang lebih baik dan lebih berkah.
Kesimpulan
Sahabat, jelas bahwa Islam tidak memandang semua hal secara hitam-putih. Dalam persoalan bekerja untuk pemimpin zalim, ada nuansa dan tingkatan yang harus kita pahami.
- Pekerjaan yang netral dan jauh dari pusaran kebijakan zalim, insya Allah tidak otomatis membuat kita berdosa, selama niat kita lurus.
- Pekerjaan yang secara aktif mendukung, melaksanakan, atau melegitimasi kezaliman, jelas haram dan berdosa besar.
- Semakin besar peran, pengaruh, dan pilihan yang kita miliki, semakin besar pula tanggung jawab kita di hadapan Allah.
Yang terpenting adalah menjaga hati dan niat kita. Apakah kita bekerja sambil membenci kezaliman, atau kita justru menikmatinya dan menjadi bagian darinya? Jawaban jujur atas pertanyaan itulah yang akan menentukan posisi kita di hadapan Allah kelak.
Jadi Bagian dari Solusi, Bukan Masalah
Dilema bekerja untuk pemimpin zalim mengajarkan kita betapa pentingnya memilih lingkungan dan ‘barisan’ perjuangan kita. Jika bekerja di lingkungan yang zalim penuh dengan risiko dan syubhat, maka bekerja dan berjuang bersama barisan orang-orang baik adalah sebuah kenikmatan dan keberkahan.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami menawarkanmu sebuah ‘lingkungan kerja’ akhirat yang sudah jelas barisannya, yaitu barisan yang membela kaum dhuafa, menyantuni anak yatim, dan melawan kezaliman kemiskinan.
Di sini, tidak ada dilema. Setiap energimu, setiap donasimu, dan setiap waktumu akan 100% digunakan untuk menegakkan kebaikan. Kamu tidak perlu khawatir apakah pekerjaanmu mendukung kezaliman, karena di sini, pekerjaan kita adalah melawan dampak dari kezaliman itu sendiri.
Yuk, pilih barisanmu dengan tegas! Jika kamu ingin memastikan setiap tetes keringat dan setiap rupiahmu menjadi amal jariyah yang bersih dan berkah, bergabunglah dengan barisan kami. Dukung program-program Yayasan Senyum Mandiri. Mari kita bekerja untuk ‘pemimpin’ yang sesungguhnya, yaitu keridhaan Allah SWT, dengan cara melayani hamba-hamba-Nya yang paling lemah.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”