Gaji Pejabat Naik, Bagaimana Standar Gaji Pejabat Menurut Islam?

Sahabat, belakangan ini telinga kita pasti sering mendengar wacana kenaikan gaji untuk para pejabat negara. Alasannya klasik, untuk meningkatkan kinerja dan menyesuaikan dengan kondisi ekonomi. Di satu sisi, argumen itu mungkin terdengar logis. Tapi di sisi lain, hati kita terasa ‘nyesek’.

Kenapa? Karena di saat yang sama, kita semua sedang berjuang. Harga beras meroket, tarif listrik naik, dan biaya hidup terasa makin mencekik. Bagi banyak dari kita, mengatur uang belanja bulanan sudah seperti bermain catur tingkat dewa. Kabar kenaikan gaji pejabat di tengah realita ini terasa seperti sebuah ironi yang menyakitkan.

Ini memunculkan satu pertanyaan fundamental yang bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal iman dan nurani, apakah pantas seorang pemimpin gajinya ditambah saat rakyat yang dipimpinnya sedang susah? Yuk, kita bedah tuntas, bagaimana Islam menetapkan standar gaji pejabat Islam yang adil dan penuh empati.

Prinsip Dasar Gaji Pemimpin dalam Islam Itu Cukup, Bukan Mewah

Dalam Islam, menjadi pemimpin itu bukan soal dapat mobil dinas atau kursi empuk. Jabatan adalah amanah super berat yang auditnya bukan cuma di dunia, tapi langsung di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, semua fasilitas yang melekat padanya, termasuk gaji, harus berada dalam koridor keadilan dan kesederhanaan.

Konsep gaji pejabat Islam didasarkan pada prinsip kifayah—artinya kecukupan. Maksudnya gimana? Gaji seorang pemimpin harus cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara wajar dan terhormat. Tujuannya jelas, agar ia bisa fokus 100% mengurus rakyat tanpa pusing mikirin dapur dan tidak tergoda untuk korupsi.

Namun, ada batas tegasnya. Gaji itu tidak boleh berlebihan hingga menjadi sarana untuk menumpuk kekayaan, pamer kemewahan, dan menciptakan jurang yang menganga antara hidupnya dan kehidupan rakyat jelata. Ulama besar seperti Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah menegaskan bahwa pemimpin memang berhak menerima penghasilan dari kas negara (baitul mal). Namun, jumlahnya harus proporsional seperti cukup untuk makan, pakaian, tempat tinggal, dan biaya operasional keluarganya. Titik. Tidak lebih.

Teladan Abadi dari Khalifah Umar bin Khattab

Kalau kita mencari contoh nyata dari prinsip kifayah ini, maka sejarah Islam telah mengabadikan nama Umar bin Khattab RA. Kisah beliau bukan sekadar cerita pengantar tidur, tapi sebuah kurikulum kepemimpinan yang seharusnya dipelajari oleh setiap pejabat hari ini.

Saat pertama kali diangkat menjadi khalifah, Umar menolak mentah-mentah untuk menerima gaji dari kas negara. Beliau bersikeras untuk tetap berdagang di pasar demi menafkahi keluarganya. Namun, para sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Ali bin Abi Thalib RA mendatanginya. Mereka berargumen, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana mungkin engkau bisa fokus mengurus negara yang seluas ini jika setiap hari pikiranmu masih terbagi untuk berdagang?

Setelah melalui diskusi panjang, Umar akhirnya setuju menerima gaji. Tapi, di sinilah letak keagungannya. Beliau tidak meminta fasilitas mewah atau gaji selangit. Beliau justru meminta para sahabat untuk menetapkan gajinya setara dengan penghasilan seorang pedagang kelas menengah di Madinah saat itu. Tidak lebih, tidak kurang. Cukup untuk hidup sederhana seperti rakyatnya.

Bahkan, standar yang beliau terapkan pada dirinya sendiri jauh lebih ketat. Pernah suatu ketika beliau terlihat lebih sering makan daging. Seorang sahabat menegurnya dengan lembut, khawatir sang khalifah mulai hidup mewah. Seketika itu juga, Umar membatasi konsumsi dagingnya. Bagi Umar, menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang paling merasakan penderitaan rakyatnya, bukan menjadi orang yang paling menikmati fasilitas negara.

Baca Juga: Teladan Pemimpin Adil Islam, Saat Tangisan Umar ‘Menampar’ Penguasa Kini

Kisah yang Menampar

Kisah paling legendaris yang menunjukkan level empati Umar terjadi di suatu malam yang dingin. Saat melakukan ‘blusukan’ senyap tanpa pengawal, beliau mendengar tangisan anak-anak dari sebuah gubuk reyot. Beliau melihat seorang ibu sedang merebus batu di dalam panci untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan, berharap mereka tertidur.

Melihat pemandangan itu, Umar menangis. Beliau merasa gagal total sebagai pemimpin. Tanpa menyuruh ajudan, beliau berlari ke gudang negara, memanggul sendiri karung gandum yang berat itu di punggungnya. Ketika seorang sahabat menawarkan bantuan, Umar menolaknya dengan kalimat yang menusuk sejarah:

“Apakah engkau juga akan memikul bebanku di hari kiamat nanti?”

Beliau tidak hanya mengantar gandum itu. Beliau memasaknya sendiri, menyuapi anak-anak itu hingga kenyang, dan baru pergi setelah memastikan mereka tertidur pulas. Inilah standar gaji pejabat Islam yang sesungguhnya, bukan soal angka, tapi soal rasa tanggung jawab yang membuat seorang pemimpin tidak bisa tidur nyenyak jika tahu ada rakyatnya yang kelaparan.

Kontras yang Menyakitkan. Realita Hari Ini

Jika kita bandingkan teladan agung tersebut dengan realita hari ini, kontrasnya terasa sangat menyakitkan. Saat ini, oknum pejabat tinggi tidak hanya menerima gaji pokok yang besar, tetapi juga berbagai tunjangan yang fantastis seperti tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, dan lain-lain. Belum lagi fasilitas mewah seperti rumah dinas, mobil dinas dengan supir dan ajudan, biaya perjalanan dinas, hingga dana representasi.

Total penghasilan mereka bisa puluhan, bahkan ratusan kali lipat dari Upah Minimum Regional (UMR) yang diterima buruh. Jurang ini terlalu dalam. Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat (khadimul ummah). Rasulullah ﷺ bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Abu Dawud). Logika sederhananya, pantaskah seorang pelayan hidup jauh lebih mewah daripada ‘tuan’-nya, yaitu rakyat?

Filosofi Kifayah, Jalan Tengah yang Menenangkan Semua Pihak

Prinsip kifayah dalam gaji pejabat Islam sebenarnya adalah solusi win-win solution:

  • Menjaga Kehormatan & Fokus Pemimpin. Dengan gaji yang cukup dan layak, pemimpin bisa bekerja dengan tenang dan terhindar dari godaan korupsi untuk ‘mencari tambahan’.
  • Menghindari Kesenjangan & Kecemburuan Sosial. Ketika pemimpin hidup sederhana, tidak akan ada lagi narasi “pejabat foya-foya, rakyat menderita”. Jarak antara pemimpin dan rakyat menjadi lebih dekat.
  • Membangun Kepercayaan & Kewibawaan. Kepercayaan publik tidak dibangun dari pencitraan, tapi dari keteladanan nyata. Pemimpin yang hidup sederhana akan dihormati dan dicintai rakyatnya secara tulus.

Model ini terbukti sangat efektif di masa para khalifah. Umar bin Abdul Aziz, cicit dari Umar bin Khattab, saat diangkat menjadi khalifah, beliau menjual semua fasilitas mewah, mengembalikan harta pribadinya yang dianggap syubhat ke kas negara, dan memilih hidup sangat sederhana. Hasilnya? Dalam waktu kurang dari tiga tahun pemerintahannya, kesejahteraan rakyat meroket hingga sulit mencari orang miskin untuk diberi zakat.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dan Lakukan?

Kisah dan prinsip ini bukan hanya untuk dikagumi, tapi untuk dijadikan standar dalam menilai dan memilih pemimpin.

  1. Amanah adalah Segalanya. Jabatan adalah ujian terberat, bukan hadiah termewah. Rasulullah ﷺ bahkan mengingatkan bahwa jabatan bisa menjadi sumber penyesalan di akhirat.
  2. Empati Bukan Pilihan, tapi Kewajiban. Seorang pemimpin wajib merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya.
  3. Keadilan Sosial Lebih Utama dari Angka. Kenaikan gaji yang sah secara hukum bisa menjadi tidak etis jika dilakukan di waktu yang salah, yaitu saat rakyat sedang kesulitan.

Penutup

Sahabat, di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, wacana kenaikan gaji pejabat seharusnya ditinjau ulang dengan hati nurani dan perspektif syariah. Ukuran kehebatan seorang pemimpin bukanlah dari tingginya gaji atau megahnya fasilitas yang ia terima, tetapi dari seberapa besar ia hadir di hati dan di setiap piring nasi rakyatnya.

Jika prinsip gaji pejabat Islam yang berlandaskan kifayah dan empati ini benar-benar dijalankan, niscaya rakyat akan merasa diperlakukan adil, dan pemimpin pun akan terjaga kehormatannya di dunia dan di akhirat. Karena pada akhirnya, seorang pemimpin sejati bukanlah yang menambah pundi-pundi hartanya, melainkan yang menambah keberkahan dan senyuman bagi rakyat yang dipimpinnya.

Saat Pemimpin Jauh dari Rakyat, Mari Kita yang Mendekat!

Melihat kesenjangan antara kehidupan pejabat dan rakyat, wajar jika kita merasa kecewa dan prihatin. Sambil kita terus berdoa dan menyuarakan harapan agar para pemimpin kita meneladani akhlak Umar bin Khattab, semangat kepedulian tidak boleh berhenti.

Jika ada ‘rakyat’ yang tidak terjangkau oleh ‘pemimpin’-nya, maka kitalah yang harus menjadi jembatan. Di sekitar kita, ada banyak keluarga yang berjuang keras hanya untuk bisa makan hari ini, anak-anak yatim yang mimpinya terancam padam, dan para lansia yang hidup sebatang kara.

Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk meneladani aksi nyata Umar. Kami adalah ‘gudang baitul mal’ modern yang siap membantumu menyalurkan ‘gandum’ kepedulianmu kepada mereka yang paling membutuhkan.

Ini adalah cara kita untuk memastikan, setidaknya dalam jangkauan kita, tidak ada lagi yang harus ‘merebus batu’. Ini adalah cara kita menunjukkan kepada Allah bahwa kita peduli, bahwa kita tidak diam melihat kesulitan sesama.

Yuk, jangan biarkan rasa kecewamu memadamkan semangat berbagimu! Salurkan sedekah terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Mari kita menjadi ‘Umar’ dalam skala kecil, yang tangannya ringan untuk menolong dan hatinya peka terhadap penderitaan sesama.

Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

Barcode Nomer CS 2025 (Yuli)

“Menebar Sejuta Kebaikan”

Tinggalkan komentar