Sahabat, linimasa media sosial kita belakangan ini sering menampilkan pemandangan yang sama, namun selalu berhasil membuat dada terasa sesak. Bukan video fiksi, melainkan rekaman nyata, derap puluhan sepatu lars di jalanan yang sepi, gedoran pintu yang memecah keheningan malam, dan lampu sorot yang menyilaukan, menyorot tajam ke jendela kamar atau asrama yang penghuninya mungkin sedang terlelap.
Kita melihat wajah-wajah kaget dan ketakutan. Kita mendengar teriakan dan suasana yang mencekam. Seketika, rasa aman kita di ruang paling pribadi ikut terguncang. Terlepas dari apapun alasan di baliknya, metode yang dipilih seringkali meninggalkan satu pertanyaan besar: “Apakah untuk menegakkan hukum, kita harus meruntuhkan rasa aman?“
Di sinilah kita perlu berbicara secara mendalam dan jujur tentang hukum menebar ketakutan (irhab). Islam, sebagai agama yang sangat menjunjung tinggi ketenangan jiwa (sakinah) dan kesucian rumah, memiliki pandangan yang sangat tegas dan jelas tentang hal ini. Ini bukan soal pro atau kontra terhadap aparat, tapi soal adab dan batas-batas kemanusiaan dalam menjalankan amanah.
Di Balik Strategi Malam Hari, Taktik vs Teror
Secara taktis, kita mungkin bisa memahami mengapa malam hari sering dipilih untuk sebuah operasi. Suasananya sepi, target lengah, dan elemen kejutan menjadi maksimal. Namun, justru karena alasan-alasan inilah, dampak psikologisnya menjadi berkali-kali lipat lebih merusak.
Malam hari adalah waktu di mana tubuh dan pikiran kita berada pada fase istirahat total. Sebuah guncangan mendadak di tengah malam akan memicu lonjakan hormon stres (kortisol dan adrenalin) yang ekstrem. Kegelapan memperkuat imajinasi dan rasa cemas. Bagi anak-anak dan lansia, pengalaman seperti ini bisa meninggalkan trauma yang mendalam seperti sulit tidur, mimpi buruk, hingga ketakutan kronis terhadap suara keras di malam hari.
Ketika sebuah operasi penegakan hukum justru memproduksi ketakutan massal pada warga sekitar yang tidak bersalah, maka ia telah melewati batas tipis antara taktik yang sah dan teror yang syariat larang.
Irhab: Dosa Menakut-nakuti yang Sering Dianggap Remeh
Dalam khazanah Islam, ada sebuah istilah yang sangat relevan: irhab. Akar katanya sama dengan terorisme, yang berarti “menakut-nakuti” atau “menciptakan ketakutan”. Ketika tindakan ini ditujukan kepada warga sipil yang tidak bersalah, hukumnya jelas-jelas dilarang. Rasulullah ﷺ bersabda dengan sangat tegas:
“Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menakut-nakuti Muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud, Shahih)
Larangan ini bukan sekadar etika basa-basi, sahabat. Ini adalah prinsip sosial fundamental dalam Islam. Jangan pernah menciptakan teror psikologis di lingkungan yang seharusnya aman. Al-Qur’an sendiri memberikan pagar-pagar yang sangat jelas tentang adab memasuki ruang privasi orang lain:
- Larangan Mengintai:
“…Dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang lain…” (QS. Al-Hujurat: 12)
- Adab Memasuki Rumah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya…” (QS. An-Nur: 27)
Jika untuk bertamu saja adabnya begitu mulia, bagaimana mungkin kita bisa membenarkan tindakan menyerbu dan menggedor-gedor di tengah malam dengan cara yang menebar kepanikan? Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa terhadap penduduk sipil yang tidak dalam kondisi perang, menebar teror adalah sebuah kemaksiatan. Bahkan, syariat tidak pernah membenarkan hukum menebar ketakutan semacam itu.

Saat Tujuan Agung Dilanggar oleh Cara yang Buruk
Tujuan agung syariat (Maqashid al-Syariah) salah satunya adalah hifzh an-nafs (menjaga jiwa) dan hifzh al-‘irdh (menjaga kehormatan). Jiwa di sini tidak hanya bermakna fisik, tapi juga kesehatan mental dan rasa aman. Kehormatan di sini tidak hanya soal nama baik, tapi juga kehormatan atas ruang privasi kita, yaitu rumah.
Malam adalah waktu untuk memulihkan jiwa, sementara rumah adalah benteng untuk menjaga kehormatan. Maka, mengacaukan dua hal ini tanpa alasan darurat yang sangat-sangat kuat dan terukur berarti telah menabrak tujuan utama Allah menurunkan syariat itu sendiri. Kaidah fiqih emas yang selalu relevan adalah: “La dharara wa la dhirar” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain). Operasi penegakan hukum yang baik adalah yang berhasil menangkap target dengan collateral damage (kerusakan ikutan) seminimal mungkin, bukan yang justru menciptakan luka sosial baru.
Beda antara Penegakan Hukum yang Sah vs. Intimidasi Massal
Penegakan hukum itu sebuah keniscayaan. Islam tidak anti terhadap ketertiban. Tapi kita harus bisa membedakan mana yang benar-benar penegakan hukum, mana yang sudah masuk wilayah intimidasi.
- Ciri Operasi yang Sah dan Beradab:
- Ada dasar hukum yang jelas (surat perintah, pasal yang relevan).
- Menggunakan body camera dan dokumentasi yang rapi.
- Kekuatan yang digunakan proporsional dengan tingkat ancaman.
- Menghormati hak-hak warga yang tidak menjadi target.
- Ada jalur pengaduan yang jelas pasca-operasi.
- Ciri Praktik Intimidasi yang Melanggar Etika:
- Menyisir area yang luas tanpa target yang spesifik (fishing expedition).
- Menggeledah ruang privat tanpa izin yang sah.
- Menggertak dan menghalangi warga sekitar yang mendokumentasikan dari jarak aman.
- Menciptakan kepanikan massal yang tidak perlu untuk mencapai tujuan.
Yang pertama adalah amanah. Yang kedua adalah irhab. Dan pada yang kedua inilah, hukum menebar ketakutan berlaku sebagai larangan moral dan syar’i yang tegas.
Luka Psikologis, Dampak Tak Terlihat yang Paling Berbahaya
Sahabat, dampak dari operasi malam yang menebar teror seringkali tidak terlihat oleh kamera. Luka fisik mungkin bisa diobati, tapi luka psikologis bisa membekas seumur hidup.
- Pada Anak-anak: Bisa memicu trauma, takut gelap, cemas berlebihan, bahkan regresi perilaku seperti mengompol kembali.
- Pada Mahasiswa/Remaja: Menyebabkan kecemasan, sulit konsentrasi belajar, dan menumbuhkan bibit ketidakpercayaan hingga kebencian pada aparat.
- Pada Warga Umum: Menyebabkan insomnia, rasa curiga pada tetangga, dan runtuhnya modal sosial karena semua orang memilih untuk “tidak mau ikut campur demi selamat sendiri”.
Luka-luka batin ini jauh lebih berbahaya dalam jangka panjang daripada sekadar kaca yang pecah atau pintu yang rusak.
Profesionalisme yang Berlandaskan Nurani
Bagaimana seharusnya? Islam menawarkan standar emas, yaitu tegas namun tetap manusiawi. Berikut adalah prinsip-prinsip praktis yang selaras dengan etika Islam:
- Legalitas yang Jelas. Selalu bawa surat perintah resmi.
- Gunakan Kekuatan Secara Proporsional. Prinsip proportionality dan necessity. Pilih cara yang paling ‘lembut’ untuk mencapai hasil yang diinginkan.
- Libatkan Pendamping Lokal. Jika situasi memungkinkan, libatkan perwakilan RT/RW atau pihak keamanan kampus sebagai saksi untuk membangun kepercayaan.
- Komunikasi yang Humanis. Tim di lapangan harus dilatih untuk berkomunikasi dengan sopan. Mulai dengan salam, perkenalkan diri, dan jelaskan maksud kedatangan dengan tenang.
- Dokumentasi untuk Akuntabilitas. Penggunaan body camera bukan hanya untuk melindungi warga, tapi juga melindungi aparat dari tuduhan fitnah.
- Sediakan Kanal Pemulihan. Setelah operasi, harus ada hotline atau posko informasi dan pendampingan psikologis bagi warga yang terdampak.
Prinsip-prinsip ini adalah wujud nyata dari penegakan hukum yang tidak melanggar hukum menebar ketakutan.
Bagaimana Jika Perintah Atasan Bertentangan dengan Nurani?
Ini adalah dilema terberat bagi seorang aparat. Islam memberikan kaidah tegas: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” Artinya, jika seorang aparat menerima perintah untuk melakukan tindakan yang jelas-jelas zalim, melanggar hukum, dan menebar teror pada warga tak bersalah, ia memiliki kewajiban moral di hadapan Allah untuk menolaknya. Ketaatan pada struktur bukanlah cek kosong untuk melanggar syariat.
Baca Juga: Perintah Atasan vs Nurani, Wajibkah Taat pada Pemimpin yang Zalim?
Penutup
Sahabat, negara hadir untuk menenteramkan, bukan untuk menakut-nakuti. Dalam konteks ini, aparat adalah wajah negara di mata rakyat. Oleh karena itu, setiap strategi yang mereka gunakan harus mereka ukur bukan hanya dari keberhasilan taktisnya, tapi dari rasa aman yang tersisa di hati warga setelahnya.
Syariat telah memberi pagar yang jelas, dari jangan melampaui batas, jangan menakut-nakuti, dan hormatilah kehormatan rumah seseorang. Kita bisa menjadi negara yang kuat dan tertib tanpa harus mengorbankan sisi kemanusiaan kita. Ketertiban sejati lahir dari kepercayaan, bukan dari ketakutan.
Pada akhirnya, hukum menebar ketakutan dalam Islam adalah larangan tegas, demi menjaga kesehatan jiwa masyarakat untuk jangka waktu yang sangat panjang.
Saat Rasa Aman Diusik, Mari Kita Bangun Rasa Aman untuk Mereka yang Paling Lemah
Melihat dan merasakan ketakutan akibat penyerbuan malam seringkali membuat kita merindukan rasa aman yang hakiki. Padahal, perasaan aman adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah. Akan tetapi, ketakutan yang berbeda ‘menyerbu’ saudara-saudara kita setiap malamnya, seperti ketakutan akan kelaparan, ketakutan akan masa depan anak-anaknya, dan ketakutan tidak punya atap untuk berteduh.
Mereka adalah kaum dhuafa dan anak-anak yatim. ‘Teror’ mereka bukanlah derap sepatu lars, melainkan sunyinya piring yang kosong.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami berjuang setiap hari untuk melawan ‘teror’ kemiskinan ini. Kami adalah ‘pasukan’ kebaikan yang datang bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menenangkan hati.
Saat rasa amanmu terusik oleh berita-berita yang meresahkan, cara terbaik untuk memulihkannya adalah dengan menjadi sumber rasa aman bagi orang lain.
Yuk, ubah rasa cemasmu menjadi aksi nyata! Salurkan donasi terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Mari kita bersama-sama ‘menyerbu’ rumah-rumah dhuafa di tengah malam, bukan dengan kebisingan, tapi dengan bantuan sembako dan selimut hangat. Jadilah agen ketenangan, bukan hanya penonton ketakutan.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”