Sahabat, sangat ironis melihat bagaimana perbedaan pendapat di media sosial sering berubah menjadi permusuhan sengit. Padahal, Islam telah menyediakan seni dan adab yang keren dalam menyikapi perbedaan pendapat, yaitu dengan mengubah fokus dari sekadar ingin menang debat menjadi niat untuk berdiskusi secara sehat demi mencari kebenaran dan pahala.
Yuk, kita kupas tuntas biar kita gak gampang kepancing emosi lagi!
Beda Pendapat Itu Normal, Kok!
Pertama-tama, kita harus paham bahwa perbedaan itu wajar, bahkan sunatullah (ketetapan alam). Sejak zaman Nabi ﷺ dan para sahabat pun, perbedaan dalam memahami cabang-cabang syariat (furu’iyyah) sudah ada. Contohnya, ada yang tarawih 8 rakaat, ada yang 20. Ada sedikit perbedaan cara wudhu antara mazhab.
Apakah itu berarti salah satunya pasti salah? Belum tentu. Mereka semua berijtihad (mencurahkan kemampuan berpikir untuk menyimpulkan hukum) sesuai ilmu yang mereka miliki. Dan lihat betapa indahnya penghargaan Islam terhadap proses berpikir ini:
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad lalu salah, maka tetap ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini nunjukkin kalau perbedaan hasil pemikiran itu dihargai, bukan dicela. Asal disikapi dengan lapang dada, perbedaan justru bisa jadi ladang belajar.
Terus, Kenapa Beda Pendapat Sering Jadi Ribut?
Masalahnya bukan di perbedaannya, sahabat. Tapi di cara kita meresponsnya. Seringnya, ego kita lebih gede dari ilmu. Diskusi yang harusnya buat nambah wawasan, malah jadi ajang pamer siapa paling benar atau paling nyunnah. Apalagi di medsos, di mana jari lebih cepat ngetik daripada otak mikir dan hati merasa.
Prinsip #1: Paham Mana yang Boleh Beda, Mana yang Gak
Dalam Islam, ada hal-hal pokok (ushul) yang jadi ‘pondasi’ iman kita, seperti keesaan Allah, kenabian Muhammad ﷺ, Al-Qur’an sebagai wahyu, dan rukun Islam. Di area ini, gak ada ruang untuk beda pendapat.
Tapi, ada juga masalah cabang (furu’) yang berkaitan dengan detail pelaksanaan ibadah atau muamalah. Nah, di sinilah para ulama sering berbeda, dan itu justru jadi rahmat. Imam Syafi’i dan Imam Malik sering beda pendapat, tapi mereka tetap saling menghormati. Mereka paham betul bahwa setiap orang bisa sampai pada kesimpulan berbeda berdasarkan dalil yang mereka pahami.
Prinsip #2: Niatnya Cari Kebenaran, Bukan Kemenangan
Sebelum masuk ke diskusi atau ngetik komentar, coba cek niat dulu. Tujuannya buat apa? Buat nunjukkin kalau “gue paling pinter”? Atau buat sama-sama belajar mencari kebenaran? Kalau niatnya menang-menangan, yang ada cuma debat kusir yang bikin hati panas. Tapi kalau niatnya tulus, kita bakal lebih terbuka menerima masukan dan gak gampang emosi.
Prinsip #3: Tabayyun Dulu, Jangan Asal Tuduh
Ini penyakit medsos banget, baca judul atau sepotong kalimat, langsung simpulkan dan serang. Padahal, Al-Qur’an ngajarin kita buat klarifikasi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun)…” (QS. Al-Hujurat: 6)
Sebelum nge-gas, coba klarifikasi dulu dengan sopan. “Maksud kamu begini, ya?” atau “Boleh dijelaskan lebih lanjut?” Jangan-jangan kita salah paham karena cuma baca sepotong atau kebawa asumsi sendiri.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dalam Tentang Suudzon! Agar Berhati-hati Dalam Berprasangka
Prinsip #4: Serang Gagasannya, Bukan Orangnya (No Ad Hominem)
Ini aturan emas dalam berdiskusi. Kalau gak setuju sama pendapatnya, kritik argumennya, sanggah dalilnya dengan dalil lain. Jangan pernah serang pribadinya, jangan cap dia “sesat”, “liberal”, “radikal”, atau label-label menyakitkan lainnya. Kita gak punya hak buat menghakimi hati seseorang. Tugas kita cuma menyampaikan kebaikan, bukan memaksa.
Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)
Prinsip #5: Tahu Kapan Harus ‘Ngerem’ dan Mundur
Gak semua diskusi harus berakhir dengan kesepakatan. Kalau suasana udah mulai panas dan argumen udah mulai ngawur, lebih baik mundur dengan elegan. Menjaga persaudaraan itu jauh lebih penting daripada memenangkan perdebatan. Bahkan, ada jaminan surga bagi yang bisa melakukannya:
“Aku menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan debat walaupun ia benar.” (HR. Abu Dawud)
Kadang, kemenangan sejati itu bukan saat lawan mengakui kita benar, tapi saat kita berhasil menaklukkan ego kita sendiri.
Kesimpulan
Sahabat, Islam sangat mendorong kita untuk berpikir kritis, tapi dengan adab yang kritis pula. Mari kita tiru para ulama terdahulu yang bisa berbeda pendapat dengan tajam di atas kertas, namun tetap shalat berjamaah dan saling mendoakan di kehidupan nyata.
Jadikan setiap perbedaan sebagai ruang untuk “upgrade diri”, bukan untuk saling menjatuhkan. Karena pada akhirnya, persaudaraan sesama muslim itu adalah perintah langsung dari Allah.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang lapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat dan menjaga lisan serta jari kita dari hal-hal yang dapat merusak persaudaraan. Aamiin.
Ubah Energi Debat Menjadi Energi Kebaikan!
Sahabat, setelah lelah berdebat soal perbedaan, bukankah lebih indah jika kita bersatu untuk satu tujuan mulia yang disepakati bersama?
Kita mungkin berbeda pendapat dalam beberapa hal, tapi kita semua setuju bahwa membantu sesama yang sedang kesulitan adalah perintah Allah yang sangat dicintai-Nya.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk menyalurkan energi positifmu. Daripada menghabiskannya untuk perdebatan yang bisa memecah belah, mari kita satukan untuk memberikan senyuman bagi anak yatim dan kaum dhuafa. Saat kita sibuk membantu mereka yang membutuhkan, kita akan sadar bahwa ukhuwah (persaudaraan) kita jauh lebih berharga daripada sekadar menang argumen.
Yuk, buktikan bahwa perbedaan tidak menghalangi kita untuk berbuat baik. Bersatu dalam aksi nyata bersama Senyum Mandiri dan rasakan indahnya persaudaraan dalam tindakan.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”