Sahabat, mari kita berhenti sejenak dan bayangkan dua potret pagi hari yang terjadi di negeri kita yang sama, di bawah bendera yang sama.
Potret Pertama: Di sebuah kota metropolitan, seorang anak pejabat bersiap sekolah. Seragamnya licin rapih, sarapannya lengkap di meja makan. Sopir pribadinya mengantar ia menuju sekolah internasional dengan fasilitas bintang lima seperti kelas ber-AC, laboratorium canggih, perpustakaan digital, dan guru-guru bersertifikasi global. Masa depannya cerah, dengan pilihan kuliah di London, Melbourne, atau Boston.
Potret Kedua: Di sebuah desa terpencil di pedalaman Kalimantan, seorang anak petani juga bersiap sekolah. Sarapannya mungkin hanya nasi dan garam. Ia harus berjalan kaki berkilo-kilometer, melewati jalanan berlumpur, dan puncaknya, menyeberangi jembatan gantung yang papannya sudah lapuk dan talinya nyaris putus, mempertaruhkan nyawa setiap hari. Sekolahnya? Dindingnya kusam, atapnya bocor, dan satu buku pelajaran harus dibagi untuk lima anak.
Dua dunia ini bukan fiksi. Ini adalah realita pahit yang menampar kita setiap hari. Dan ini memunculkan satu pertanyaan fundamental yang menusuk hati, di mana letak keadilan pendidikan Islam yang seharusnya menjadi ruh bangsa ini?
Islam & Kewajiban Ilmu. Bukan Hak, tapi Perintah!
Dalam pandangan Islam, pendidikan itu bukan sekadar hak, tapi sebuah kewajiban suci (faridhah). Rasulullah ﷺ tidak mengatakan “Menuntut ilmu itu pilihan,” tapi beliau bersabda dengan sangat tegas:
“Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Kata “setiap Muslim” di sini tidak memandang bulu. Mau dia anak pejabat, anak petani, anak nelayan, tinggal di kota atau di pelosok, kewajiban itu sama. Dan jika menuntut ilmu adalah kewajiban bagi individu, maka menyediakan sarana untuk menuntut ilmu adalah kewajiban bagi negara dan pemimpinnya.
Keadilan pendidikan Islam berarti memastikan setiap anak punya kesempatan yang sama untuk memenuhi kewajiban tersebut. Allah SWT sendiri menjanjikan derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu:
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini adalah janji, sekaligus menjadi ‘sindiran’ keras, bagaimana mungkin Allah akan mengangkat derajat semua anak jika jembatan rusak dan gedung sekolah yang reyot sudah membatasi akses mereka menuju ilmu itu sendiri?
Potret Kesenjangan yang Menyakitkan. Fakta di Lapangan
Kesenjangan ini bukan cuma perasaan, tapi terekam dalam data. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa angka rata-rata lama sekolah di provinsi maju seperti Jakarta bisa mencapai 11,4 tahun (setara kelas XI SMA), sementara di provinsi tertinggal seperti Papua, angkanya hanya 7,3 tahun (setara kelas I SMP).
Penyebabnya adalah ‘penyakit kronis’ yang sama dari tahun ke tahun:
- Infrastruktur yang timpang. Sekolah-sekolah bagus menumpuk di kota, sementara di desa banyak yang masuk kategori ‘rusak berat’. Akses jalan dan jembatan yang layak masih menjadi mimpi.
- Distribusi Guru yang Tidak Merata. Guru-guru berkualitas cenderung memilih mengajar di kota besar dengan fasilitas dan insentif yang lebih baik. Desa-desa akhirnya hanya mendapatkan sisa, atau bahkan tidak ada guru sama sekali.
- Kesenjangan Digital. Saat anak kota sudah fasih dengan coding dan AI, banyak anak desa yang bahkan belum pernah menyentuh komputer atau mendapatkan sinyal internet yang stabil.
Ketimpangan ini adalah bentuk kezaliman struktural. Dalam kacamata keadilan pendidikan Islam, membiarkan kondisi ini terus terjadi adalah sebuah dosa sosial yang besar.
Tanggung Jawab Pemimpin. Amanah yang Akan Di-Audit di Akhirat
Dalam Islam, pemimpin adalah pemegang amanah. Setiap kebijakan yang dibuatnya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, jembatan rusak yang anak petani lewati itu bukan cuma tanggung jawab kontraktor, tapi juga tanggung jawab pemimpin di level kabupaten, provinsi, hingga pusat. Kelalaian dalam menyediakan fasilitas pendidikan yang layak adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Seorang pemimpin akan ditanya di akhirat kelak: “Saat engkau berkuasa, mengapa engkau biarkan anak-anak di pelosok negerimu berjuang mati-matian hanya untuk bisa belajar, sementara anak-anak di kota mendapatkan segalanya dengan mudah?“
Baca Juga: Ini Pertanggungjawaban Pemimpin di Akhirat yang Bikin Merinding

Belajar dari Sejarah Emas Islam
Kalau kita mau lihat contoh ideal keadilan pendidikan Islam, kita bisa tengok sejarah emas peradaban Islam.
- Zaman Khalifah Umar bin Khattab RA. Beliau adalah pemimpin pertama yang secara resmi menetapkan gaji tetap untuk para guru dari kas negara (Baitul Mal). Tujuannya? Agar guru bisa fokus mengajar dan anak-anak dari keluarga miskin bisa belajar tanpa dipungut biaya.
- Era Dinasti Abbasiyah. Khalifah Al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad. Ini bukan sekadar perpustakaan, tapi pusat riset, penerjemahan, dan universitas terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang. Ilmuwan dari berbagai agama dan bangsa berkumpul di sini.
- Kejayaan Andalusia (Spanyol Islam). Universitas-universitas seperti di Cordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Mereka menyediakan beasiswa, asrama, dan makanan gratis bagi para pelajar miskin yang berprestasi.
Sejarah ini membuktikan bahwa ketika Islam menjadi landasan sebuah peradaban, pendidikan menjadi prioritas utama dan para pemimpinnya membuka akses seluas-luasnya untuk semua kalangan.
Dampak Jangka Panjang
Kesenjangan pendidikan ini bukan cuma masalah hari ini. Ini adalah ‘bom waktu’ untuk masa depan bangsa.
- Melanggengkan Kemiskinan. Anak dari keluarga miskin yang tidak mendapat pendidikan layak akan sulit mendapatkan pekerjaan yang baik. Lingkaran setan kemiskinan pun terus berlanjut dari generasi ke generasi.
- Kehilangan Talenta Terbaik Bangsa. Mungkin saja ‘Einstein’ atau ‘Habibie’ berikutnya lahir di desa terpencil itu, tapi potensinya terkubur karena tidak pernah mendapatkan kesempatan yang layak.
- Menciptakan Kesenjangan Sosial yang Dalam. Jurang antara si kaya dan si miskin akan semakin lebar, memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik di masa depan.
Jalan Menuju Keadilan, Apa yang Harus Dilakukan?
Mewujudkan keadilan pendidikan Islam di Indonesia butuh kerja keras dan komitmen dari semua pihak, terutama pemerintah. Beberapa langkah yang harus menjadi prioritas:
- Pemerataan Infrastruktur. Anggaran pendidikan harus difokuskan untuk membangun dan memperbaiki sekolah-sekolah di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Bukan cuma gedung, tapi juga akses jalan dan jembatan yang aman.
- Distribusi Guru Berkualitas. Berikan insentif dan tunjangan khusus yang sangat menarik bagi guru-guru terbaik agar mau mengabdi di pelosok.
- Beasiswa yang Tepat Sasaran. Berikan program beasiswa, baik dalam maupun luar negeri, berdasarkan prestasi dan kebutuhan, bukan berdasarkan koneksi atau status sosial.
- Pengawasan Anggaran yang Super Ketat. Berantas korupsi di sektor pendidikan sampai ke akar-akarnya. Setiap rupiah yang dikorupsi dari dana pendidikan adalah kejahatan terhadap masa depan bangsa.
Penutup
Sahabat, kita tidak bisa memilih untuk lahir di keluarga mana. Tapi negara dan para pemimpinnya punya kewajiban untuk memastikan setiap anak, di mana pun ia lahir, punya garis start yang sama dalam meraih cita-citanya.
Keadilan pendidikan Islam adalah tentang membangun ‘jembatan’—bukan hanya jembatan fisik yang kokoh, tapi juga jembatan kesempatan yang menghubungkan anak pejabat dan anak petani dalam satu mimpi yang sama yaitu menjadi generasi terbaik yang akan membangun bangsa ini.
Jika ini terwujud, maka kisah anak petani yang melewati jembatan rusak hanya akan menjadi cerita sedih di buku sejarah, bukan lagi berita utama di media massa.
Saat Sistem Belum Adil, Mari Kita Jadi Jembatan Kebaikan!
Melihat kesenjangan yang begitu dalam, wajar jika kita merasa geram dan tidak berdaya. Tapi, menunggu sistem berubah total butuh waktu. Sementara itu, ada anak-anak yang jembatannya semakin lapuk setiap hari.
Di sinilah peran kita sebagai masyarakat. Jika negara belum mampu membangun semua jembatan fisik, kita bisa mulai membangun ‘jembatan kesempatan’ melalui kepedulian kita.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mendedikasikan diri untuk menjadi ‘jembatan’ itu. Kami percaya bahwa tidak ada anak yang boleh putus sekolah hanya karena jembatan menuju sekolahnya rusak atau karena orang tuanya tidak mampu membeli seragam.
Melalui program “Beasiswa Anak Hebat” dan “Bantuan Perlengkapan Sekolah”, kami berusaha menyambungkan harapan anak-anak di pelosok dengan kebaikan hati para donatur di kota. Donasimu, sekecil apapun, akan menjadi ‘papan’ dan ‘tali’ yang mengokohkan jembatan mimpi mereka.
Yuk, jangan cuma jadi penonton! Jadilah bagian dari solusi. Salurkan donasi terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Mari kita bangun jembatan kesempatan itu bersama-sama, dari hati kita, untuk masa depan mereka.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”