Sahabat, kalau di dunia kerja, kita pasti kenal banget sama yang namanya KPI alias Key Performance Indicator. Target tercapai, performa bagus, baru deh ada cerita soal bonus atau kenaikan gaji. Adil, kan? Itu adalah kontrak profesional yang jelas. ada hasil, ada penghargaan.
Nah, sekarang coba kita geser perspektifnya ke para pejabat publik. Baru-baru ini kan ramai lagi wacana kenaikan gaji mereka, dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kinerja. Pertanyaan refleksinya sederhana saja seperti Apa sih KPI mereka? Dan, menurut kita sebagai ‘bos’ yang membayar gaji mereka lewat pajak, KPI-nya sudah tercapai belum?
Ini bukan cuma soal protes atau sentimen negatif, sahabat. Ini adalah soal prinsip dasar keadilan dan amanah yang sangat ditekankan dalam Islam. Ketika uang rakyat yang jadi taruhannya, maka pertanggungjawaban menjadi harga mati. Yuk, kita bedah tuntas, bagaimana Islam memandang hubungan krusial antara gaji dan kinerja pejabat publik, dan mengapa akuntabilitas adalah cerminan dari iman.
Gaji vs Kinerja. Dua Sisi Mata Uang yang Tak Terpisahkan
Pada hakikatnya, gaji adalah kompensasi atas kerja. Di dunia korporat, prinsip ini sangat dijunjung tinggi. Seorang CEO yang berhasil menaikkan laba perusahaan puluhan persen wajar mendapatkan bonus fantastis. Sebaliknya, seorang manajer yang gagal mencapai target timnya selama berbulan-bulan, jangankan naik gaji, bisa jadi perusahaan akan mengevaluasi posisinya. Prinsip ini adil, logis, dan mendorong produktivitas.
Seharusnya, prinsip yang sama berlaku lebih ketat lagi bagi pejabat negara. Kenapa? Karena sumber gaji mereka bukan dari kantong pribadi seorang pemilik perusahaan, melainkan dari kantong kita semua sebagai rakyat, melalui pajak, retribusi, dan pengelolaan sumber daya alam. Uang tersebut adalah amanah kolektif. Maka, sangat wajar jika rakyat menuntut kinerja pejabat publik yang sepadan, terukur, dan dampaknya benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar kinerja seremonial seperti hadir di rapat, memotong pita peresmian, atau menandatangani tumpukan dokumen.
Konsep ‘Kontrak Kerja’ Rakyat dan Pejabat dalam Islam (Ijarah)
Mungkin terdengar modern, tapi Islam sejak 14 abad yang lalu sudah punya konsep yang sangat relevan untuk membahas hubungan ini, yaitu akad ijarah. Secara sederhana, ijarah adalah akad sewa jasa atau kontrak kerja, di mana ada pemberi kerja (musta’jir), pekerja (ajir), lingkup pekerjaan yang jelas (ma’qud ‘alaih), dan upah (ujrah) yang kedua belah pihak sepakati.
Kalau kita analogikan dalam konteks negara modern:
- Rakyat adalah musta’jir, sang ‘pemberi kerja’ yang secara kolektif menyerahkan amanah dan ‘upah’ (melalui pajak dan kas negara).
- Pejabat Publik adalah ajir, sang ‘pekerja’ yang mengemban amanah untuk mengurus negara sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku.
- Tugas dan Kewajiban yang tertuang dalam undang-undang adalah lingkup pekerjaannya yang jelas.
- Gaji dan Fasilitas yang diterima pejabat adalah ujrah atau upahnya.
Sebuah akad ijarah dianggap sah dan berkah jika semua rukun dan syaratnya terpenuhi. Salah satu syarat terpenting adalah sang pekerja wajib melaksanakan tugasnya dengan baik, profesional (itqan), dan sesuai dengan kesepakatan. Jika ia lalai, tidak kompeten, atau bahkan berkhianat, maka ia telah menciderai akad tersebut. Inilah dasar syar’i mengapa kinerja pejabat publik harus transparan dan akuntabel. Mereka terikat ‘kontrak kerja’ langsung dengan rakyat dan, yang lebih utama, dengan Allah SWT yang menjadi saksi atas akad tersebut.
Standar Emas dari Sejarah, Saat Gaji Sederhana Menghasilkan Kinerja Luar Biasa
Kalau kita mau lihat standar emas kinerja pejabat publik, sejarah Islam punya banyak teladan yang bikin kita merinding. Mereka tidak pernah menuntut kenaikan gaji, tapi justru menaikkan standar pelayanan hingga level tertinggi, yang bahkan sulit ditandingi oleh negara modern sekalipun.
- Khalifah Umar bin Khattab RA. Pemimpin yang Takut Tidur Nyenyak
Umar RA menerima gaji yang hanya cukup untuk standar hidup rakyatnya yang paling sederhana. Tapi kinerjanya? Luar biasa. Beliau adalah pelopor sistem administrasi modern, sensus penduduk, lembaga peradilan, hingga patroli malam (blusukan senyap) untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Beliau tidak pernah berpikir, “Gajiku kecil, kerjaku seadanya saja.” Justru sebaliknya, beliau merasa, “Amanahku besar, aku harus bekerja lebih keras dari siapa pun karena pertanggungjawabanku di hadapan Allah sangat berat.“ - Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Reformis Sejati yang Anti Kemewahan
Cicit dari Umar bin Khattab ini adalah teladan reformasi birokrasi sejati. Begitu naik menjadi khalifah, langkah pertamanya adalah ‘membersihkan’ istana. Beliau menjual semua fasilitas mewah, mengembalikan harta pribadi yang beliau anggap syubhat ke kas negara, dan memotong tunjangan-tunjangan yang tidak perlu. Beliau sangat fokus pada kinerja pejabat publik di bawahnya, memecat gubernur yang zalim dan mengangkat mereka yang kompeten dan amanah. Hasilnya? Dalam waktu kurang dari tiga tahun pemerintahannya, kesejahteraan rakyat meroket hingga sulit sekali menemukan orang miskin yang berhak menerima zakat.
Teladan agung ini menghancurkan argumen bahwa gaji tinggi adalah satu-satunya jaminan kinerja baik dan anti-korupsi. Justru, ketakwaan (taqwa) dan rasa amanah-lah yang menjadi motor penggerak utama kinerja yang luar biasa.
Krisis Kepercayaan. Saat Gaji Naik, tapi Pelayanan Publik Stagnan
Di era modern, salah satu masalah terbesar dalam hubungan rakyat dan pemerintah adalah krisis kepercayaan. Rakyat seringkali menyaksikan pemandangan yang kontras seperti pejabat dengan fasilitas mewah, studi banding ke luar negeri, dan wacana kenaikan gaji, sementara di sisi lain, realita pelayanan publik masih jauh dari kata memuaskan.
- Antrian BPJS di rumah sakit masih mengular dan melelahkan.
- Mengurus KTP, SIM, atau perizinan usaha masih seringkali berbelit-belit dan memakan waktu.
- Kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik terus berulang, seolah tak ada efek jera.
- Infrastruktur dasar seperti jalan desa, irigasi sawah, atau sanitasi di daerah terpencil masih terbengkalai.
Semua ini menimbulkan pertanyaan besar di benak rakyat: “Sebenarnya, apa indikator keberhasilan mereka? Apa output nyata dari gaji besar yang kami bayarkan?“
Islam mengajarkan prinsip keadilan (‘adl) dan keseimbangan (tawazun). Jika hak (gaji) terus dinaikkan, tapi kewajiban (pelayanan) tidak membaik, maka di situlah letak ketidakadilannya. Ini bukan lagi soal angka, tapi soal rasa keadilan yang terluka, yang bisa mengikis kepercayaan publik secara perlahan namun pasti.

Transparansi & Akuntabilitas, Tuntutan Zaman yang Sejalan dengan Syariat
Di zaman keterbukaan informasi ini, publik menuntut transparansi. Kita ingin tahu, bukan hanya berapa gaji seorang pejabat, tapi juga apa saja target kerjanya dan bagaimana hasil evaluasinya. Seharusnya, setiap lembaga pemerintah punya ‘rapor’ publik yang bisa diakses oleh siapa saja. Misalnya:
- Kementerian Pertanian: Apa target penurunan impor pangan? Seberapa besar peningkatan kesejahteraan petani? Berapa luas lahan sawah baru yang berhasil dicetak?
- Kementerian Pendidikan: Berapa persen penurunan angka putus sekolah? Bagaimana skor PISA siswa kita jika kita bandingkan dengan negara lain? Berapa banyak guru honorer yang sudah pemerintah angkat menjadi ASN?
- Kementerian PUPR: Berapa kilometer jalan baru yang sudah Anda bangun (dengan kualitas baik dan tahan lama)? Seberapa efektif program penanggulangan banjir di kota-kota besar?
Jika target-target ini jelas, terukur, dan tercapai, maka kenaikan gaji bisa didiskusikan dengan lebih rasional. Namun, jika targetnya saja tidak jelas atau tidak pernah tercapai, bagaimana mungkin kita bisa menilai kinerjanya?
Tuntutan akuntabilitas ini sangat sejalan dengan Islam. Hadis paling fundamental tentang kepemimpinan adalah:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa jabatan itu bukan kekuasaan absolut, tapi amanah publik. Maka, akuntabilitas dan transparansi kepada ‘pemilik’ amanah (rakyat) adalah sebuah keniscayaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Baca Juga: Proyek Pemerintah Sering Kerja Tidak Profesional, Bagaimana Pandangan Islam?
Refleksi untuk Indonesia
Sahabat, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, nilai-nilai Islam seharusnya menjadi kompas moral dalam tata kelola negara.
- Gaji adalah Hak, Kinerja adalah Kewajiban. Keduanya harus berjalan seimbang dan saling terkait.
- Konsep Ijarah Mengajarkan Keadilan. Upah diberikan atas dasar kerja yang jelas dan tuntas, bukan sekadar status atau jabatan.
- Teladan Khalifah adalah Standar Emas. Pemimpin hidup sederhana, tapi bekerja luar biasa untuk rakyat.
- Kepercayaan Publik adalah Aset Termahal. Kepercayaan ini hanya bisa dibangun melalui kinerja pejabat publik yang nyata, transparan, dan akuntabel.
Kita tidak menolak negara menggaji pejabat dengan layak agar mereka bisa hidup terhormat dan menghindari godaan korupsi. Namun, mereka harus mengiringi kelayakan itu dengan kinerja yang terukur dan dampak yang benar-benar rakyat paling bawah rasakan. Tanpa itu, kenaikan gaji hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan dan menjadi beban bagi negara.
Penutup
Kenaikan gaji pejabat akan selalu menjadi isu yang sensitif selama rakyat masih merasa pelayanan publik belum optimal. Islam sudah memberikan pedoman yang sangat jelas, pemimpin adalah pelayan rakyat, dan gaji hanyalah konsekuensi dari kinerja yang benar-benar dijalankan dengan amanah.
Sahabat, jika para pejabat ingin kami hargai dengan lebih layak, maka buktikanlah dengan kerja nyata yang dampaknya kami rasakan di kehidupan sehari-hari. Jangan sampai mereka selalu mendahulukan hak, sementara terus mengabaikan kewajiban.
Pada akhirnya, standar Islam sangat sederhana yaitu kinerja pejabat publik harus sebanding dengan besarnya amanah yang mereka pikul di dunia dan beratnya pertanggungjawaban yang akan mereka hadapi di akhirat.
Saat Kita Mempertanyakan Kinerja Pejabat, Kinerja Kebaikan Kita Tidak Boleh Berhenti
Melihat realita kinerja pejabat publik yang terkadang jauh dari harapan, wajar jika kita merasa pesimis. Tapi, semangat untuk berbuat baik dan menciptakan perubahan tidak boleh padam hanya karena sistem yang belum sempurna.
Jika pelayanan dari ‘atas’ terasa lambat, maka gerakan kebaikan dari ‘bawah’ harus semakin cepat. Inilah esensi dari masyarakat madani yang mandiri dan peduli, yang tidak hanya menunggu, tapi juga bertindak.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami percaya bahwa setiap dari kita bisa menjadi ‘pejabat’ kebaikan di lingkungan terkecilnya. Kami adalah platform bagi sahabat untuk mengeksekusi ‘program-program’ kemanusiaan yang dampaknya langsung terasa, tanpa birokrasi yang berbelit dan dengan akuntabilitas yang jelas.
- Transparan & Akuntabel. Kami memastikan setiap donasimu menjadi ‘proyek’ kebaikan yang laporannya bisa kamu akses kapan saja. ‘KPI’ kami adalah jumlah senyuman anak yatim yang bisa kembali sekolah, dan jumlah keluarga dhuafa yang bisa makan kenyang hari ini.
- Kinerja Terukur. Kami tidak hanya memberi bantuan, tapi juga memberdayakan. Kami mengukur keberhasilan dari seberapa banyak mustahik yang bisa mandiri dan keluar dari lingkaran kemiskinan.
Saat kita merasa kontribusi kita melalui pajak seolah tak terlihat hasilnya, kontribusi kita melalui sedekah akan langsung mengubah hidup seseorang.
Yuk, jangan biarkan rasa kecewamu memadamkan semangat berbagimu! Salurkan zakat, infaq, dan sedekahmu melalui Senyum Mandiri. Mari kita tunjukkan bahwa kinerja kebaikan yang lahir dari hati rakyat, insya Allah, tidak akan pernah mengecewakan.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”