Sahabat, tiap kali ada berita ‘pajak naik’, kolom komentar medsos pasti langsung rame, kan? Ada yang pasrah, ada yang ngedumel, ada juga yang nanya, “Kita ini udah bayar zakat, masa harus bayar pajak lagi? Wajib nggak sih menurut Islam?“. Nah, pertanyaan ini penting banget dan jawabannya nggak sesimpel “boleh” atau “nggak”. Biar nggak salah kaprah, yuk kita bedah tuntas soal hukum pajak Islam, dari zaman ulama klasik sampai konteks negara modern kita sekarang.
Pajak Itu Udah Dibahas Ulama Klasik, Lho
Istilah ‘pajak’ modern emang nggak ada di zaman Nabi. Tapi konsep ‘pungutan negara di luar zakat’ itu udah ada dan dibahas tuntas oleh ulama-ulama top seperti Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Juwaini. Namanya dharibah. Jadi, ini bukan hal baru. Islam mengakui bahwa negara butuh dana untuk berjalan, di luar dana zakat yang peruntukannya sudah spesifik.

Kapan Pajak Dianggap Sah Menurut Islam? Ini ‘Checklist’-nya
Para ulama memberikan ‘lampu hijau’ untuk pajak, tapi dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Sebuah pungutan dianggap sah jika memenuhi checklist ini:
- Negara Benar-benar Butuh & Kasnya Kosong. Pajak itu boleh jika dana zakat dan sumber pendapatan negara lainnya nggak cukup untuk membiayai kebutuhan darurat dan vital (seperti pertahanan, infrastruktur publik, atau penanggulangan bencana).
- Aturannya Adil, Gak Cuma ‘Nekan’ yang Kecil. Pajak harus dikenakan secara adil dan merata. Tidak adil rasanya jika kita hanya memberi keringanan pada yang kaya, tapi terus mengejar-ngejar yang menengah ke bawah. Keadilan adalah pilar utamanya.
- Tarifnya ‘Manusiawi’, Gak Bikin Rakyat Sengsara. Beban pajak nggak boleh melampaui batas kemampuan rakyat. Kalau sampai membuat orang jadi sulit memenuhi kebutuhan pokok, maka pajak itu menjadi zalim.
- Duitnya Jelas buat Rakyat, Gak Dikorupsi. Ini yang paling penting. Pengelolaan hasil pajak wajib itu harus amanah, transparan, dan kembali ke rakyat dalam bentuk fasilitas publik yang baik. Kalau malah dikorupsi, legitimasi pajak itu gugur secara moral.
Prinsip ini sejalan dengan firman Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. An-Nisa: 29)
Baca Juga: Wajib Tahu! Ini Panduan Lengkap Waktu Bayar Zakat Profesi Bulanan
Kalau Pajaknya Gak Adil, Boleh Protes Gak?
Islam nggak ngajarin kita buat jadi rakyat yang ‘manut’ buta. Memberi masukan atau kritik kepada pemimpin (nasihat lil aimmah) itu justru dianjurkan. Khalifah Umar bin Khattab aja sering mendapatkan kritikan dan beliau terima. Tapi, ada adabnya:
- Protes dengan Elegan. Sampaikan kritik melalui jalur yang benar (wakil rakyat, dialog publik, petisi), dengan data, dan bahasa yang santun.
- Bukan Memberontak. Islam melarang pemberontakan yang menimbulkan kekacauan dan kerusakan.
- Fokus pada Solusi. Jangan cuma mengeluh, tapi tawarkan juga solusi yang konstruktif.
Jadi, Kapan Kita Wajib Bayar Pajak?
Mayoritas ulama kontemporer sepakat, kalau 4 syarat di atas terpenuhi (butuh, adil, nggak zalim, amanah), maka membayar pajak menjadi bagian dari kewajiban kita sebagai warga negara untuk menepati ‘kontrak sosial’. Ini sesuai dengan perintah Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu…” (QS. Al-Ma’idah: 1)
Anggap aja zakat itu ‘ibadah vertikal’ kita ke Allah untuk bersihin harta. Pajak itu ‘iuran gotong royong’ kita sebagai warga negara buat bayar fasilitas yang kita nikmati bareng-bareng seperti jalanan mulus, sekolah, rumah sakit, keamanan, dll. Keduanya punya jalur dan tujuan berbeda.

Nah, Gimana Kalau Pajaknya ‘Zalim’?
Ini bagian yang sulit. Kalau pajak jelas-jelas tidak adil, tarifnya mencekik, dan dikorupsi, para ulama memberikan ruang untuk menolak. Namun, penolakan ini bukan berarti anarki. Caranya harus tetap elegan dan strategis, misalnya lewat jalur hukum, advokasi oleh lembaga terpercaya, atau membangun opini publik yang cerdas untuk menuntut perubahan.
Penutup
Sahabat, hukum pajak Islam itu tidak hitam-putih. Islam mengakui kebutuhan negara, tapi juga sangat melindungi hak rakyat dari kezaliman. Kuncinya ada pada keadilan dan amanah.
Sebagai warga negara yang baik, kita membayar pajak sebagai bentuk kontribusi. Sebagai Muslim yang kritis, kita juga berhak dan wajib mengawasi penggunaannya serta menyuarakan aspirasi jika terjadi penyimpangan.
Sempurnakan Peranmu, Setelah Pajak & Zakat, Ada Sedekah!
Diskusi tentang hukum pajak Islam ini mengajarkan kita satu hal penting yaitu semangat berbagi dan kepedulian sosial.
Terlepas dari kewajiban kita membayar pajak kepada negara, ada satu ‘pembayaran’ lain yang sifatnya sukarela, langsung ke sasaran, dan pahalanya sudah terjamin oleh Allah yaitu sedekah.
Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk menyempurnakan tanggung jawab sosialmu. Jika pajak adalah kontribusimu untuk infrastruktur dan sistem, maka sedekah adalah ‘sentuhan langsung’-mu ke hati mereka yang paling membutuhkan.
Donasimu di sini bukan untuk membangun jalan tol, tapi untuk membangun masa depan seorang anak yatim. Selain itu, donasimu itu juga untuk memberi makan keluarga dhuafa yang kelaparan. Pada intinya, ini adalah bentuk kepedulian yang melengkapi peran kita sebagai warga negara dan sebagai hamba Allah.
Yuk, sempurnakan peranmu! Setelah menunaikan kewajiban zakat dan pajakmu, sisihkan sebagian rezekimu untuk sedekah melalui Senyum Mandiri. Rasakan kebahagiaan memberi yang dampaknya bisa kamu lihat secara langsung.
Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”