Perintah Atasan vs Nurani, Wajibkah Taat pada Pemimpin yang Zalim?

Sahabat, coba pejamkan mata sejenak dan bayangkan pemandangan ini. Di tengah riuhnya jalanan, di antara kepulan gas air mata dan teriakan yel-yel, berdiri seorang aparat muda. Seragamnya gagah, tamengnya kokoh, tapi di balik helmnya, matanya menatap kosong pada lautan mahasiswa di depannya. Telinganya mendengar perintah tegas dari komandannya lewat walkie-talkie: “Mundur kan mereka! Pukul mundur!

Tapi hatinya mendengar suara lain. Suara nuraninya sendiri. Ia melihat di hadapannya bukan musuh, melainkan anak-anak muda sebayanya, bahkan mungkin adiknya sendiri. Mereka hanya duduk, menyanyikan lagu kebangsaan, menuntut hak yang mereka yakini benar. Perintah di telinganya menyuruhnya maju dan menggunakan kekerasan. Tapi nuraninya menjerit, menyuruhnya untuk diam dan melindungi.

Dilema inilah yang seringkali tidak tertangkap kamera. Pertarungan batin seorang abdi negara yang terjepit antara sumpah jabatan dan sumpah kepada Tuhan. Di satu sisi, ada loyalitas pada hierarki komando. Di sisi lain, ada tanggung jawab moral sebagai manusia dan sebagai seorang Muslim.

Pertanyaan ini bukan lagi sekadar teori di buku-buku hukum. Ini adalah ujian iman yang nyata di tengah jalanan, jika perintah atasan terasa zalim, apakah Islam tetap mewajibkan kita untuk taat pada pemimpin yang zalim?

Ketaatan dalam Islam Itu Bukan Cek Kosong, tapi Bersyarat

Pertama-tama, mari kita luruskan satu hal fundamental. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keteraturan dan stabilitas. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemimpin (ulil amri) adalah salah satu ajaran pokoknya. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…” (QS. An-Nisa: 59)

Ayat ini adalah fondasi penting dalam kehidupan bernegara. Tanpa ketaatan pada pemimpin, sebuah negara bisa jatuh ke dalam anarki dan kekacauan. Namun, para ulama tafsir dari zaman klasik hingga modern sepakat bahwa ketaatan ini tidak absolut. Ia adalah ketaatan yang bersyarat, terikat, dan dibatasi oleh satu hal yang lebih tinggi, yaitu ketaatan kepada Allah SWT.

Rasulullah ﷺ memberikan ‘garis merah’ yang sangat jelas dan tidak bisa ditawar-tawar:

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq).” (HR. Ahmad, Shahih)

Hadis ini adalah ‘kunci’ untuk membuka semua dilema. Artinya, loyalitas tertinggi kita bukanlah kepada komandan, jenderal, atau bahkan presiden, melainkan kepada Allah. Jika perintah atasan sejalan dengan kebaikan dan tidak melanggar syariat, maka wajib ditaati. Tapi jika perintah itu jelas-jelas mengandung kezaliman, kemaksiatan, atau menyakiti orang yang tidak bersalah, maka kewajiban untuk taat gugur seketika.

Batas antara Perintah Sah dan Perintah Zalim

Dalam konteks demonstrasi, seorang aparat harus mampu membedakan mana perintah yang sah dan mana yang sudah masuk kategori zalim.

  • Perintah Sah (Wajib Ditaati):
    • Menjaga ketertiban umum agar aksi berjalan damai.
    • Melindungi fasilitas publik dari perusakan.
    • Mengatur lalu lintas di sekitar lokasi aksi.
    • Mencegah penyusup yang ingin memprovokasi kericuhan.
      Semua ini sejalan dengan tujuan syariat (maqashid syariah), yaitu menjaga jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-‘aql), dan harta (hifzh al-mal).
  • Perintah Zalim (Wajib Ditolak):
    • Menggunakan kekerasan yang tidak proporsional terhadap demonstran yang damai.
    • Menembakkan gas air mata ke arah kerumunan yang di dalamnya ada anak-anak, perempuan, atau lansia.
    • Melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang benar.
    • Memprovokasi atau memancing kericuhan.

Saat menerima perintah yang kedua, seorang aparat Muslim tidak hanya boleh menolak, tapi wajib menolaknya dalam hati dan berusaha untuk tidak melaksanakannya sejauh ia mampu. Mengapa? Karena menuruti perintah zalim berarti ikut serta dalam kezaliman itu sendiri. Rasulullah ﷺ bersabda:

Tolonglah saudaramu baik dalam keadaan ia zalim maupun dizalimi.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami akan menolongnya jika ia dizalimi. Tapi bagaimana kami menolongnya jika ia yang berbuat zalim?” Beliau menjawab, “Kalian mencegahnya dari perbuatan zalimnya, maka itulah cara menolongnya.” (HR. Bukhari)

Menolak perintah atasan yang zalim adalah cara seorang aparat ‘menolong’ atasannya dari perbuatan dosa.

Realita di Lapangan, Saat Sumpah Jabatan Diadu dengan Sumpah kepada Tuhan

Kita harus jujur, menolak perintah atasan di lapangan itu tidak mudah. Ada risiko besar yang menanti seperti sanksi disipliner, mutasi ke daerah terpencil, karier yang mandek, atau bahkan pemecatan. Belum lagi tekanan psikologis dari rekan-rekan sesama aparat yang mungkin menganggapnya sebagai pembangkang atau pengkhianat korps.

Namun, di sisi lain, ada risiko yang jauh lebih besar dan abadi yaitu pertanggungjawaban di hadapan Allah. Saat seorang aparat terus-menerus menuruti perintah zalim, ia berisiko:

  • Kehilangan simpati dan kepercayaan dari rakyat yang seharusnya ia lindungi.
  • Menjadi bagian dari mesin penindas yang dibenci Allah.
  • Menanggung dosa besar atas setiap tetes darah atau air mata rakyat yang tumpah akibat tindakannya.

Laporan dari lembaga-lembaga HAM seperti KontraS atau Amnesty International secara konsisten mencatat adanya pola penggunaan kekerasan berlebihan dalam penanganan aksi massa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa dilema ini bukanlah wacana, melainkan kenyataan pahit yang terus berulang dan memakan korban.

Pandangan Ulama

Dari ulama klasik hingga kontemporer, pandangan mereka sangat konsisten dan tegas mengenai isu ini. Tidak ada satu pun ulama kredibel yang melegitimasi ketaatan buta kepada pemimpin yang zalim.

  • Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis-hadis tentang ketaatan kepada pemimpin hanya berlaku selama perintah mereka tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat.
  • Syekh Yusuf Al-Qaradawi, seorang ulama modern terkemuka, menekankan bahwa ketaatan kepada pemimpin bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan sarana untuk mencapai kemaslahatan. Jika pemimpin justru membawa kerusakan (mafsadat), maka ketaatan kepadanya tidak lagi relevan.
  • KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, dalam berbagai pemikirannya sangat menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jika itu harus ditujukan kepada penguasa.

Jadi, secara keilmuan, Islam memberikan landasan yang sangat kokoh bagi seorang aparat untuk berani mengatakan “tidak” pada perintah yang zalim.

Baca Juga: Tak Bisa Ikut Aksi? Ini Cara Islami Mendukung Demonstrasi dari Jauh

Jihad Paling Utama Itu Berani Berkata Benar di Hadapan Penguasa Zalim

Menolak kezaliman, meskipun berisiko, adalah bentuk jihad yang nilainya sangat tinggi dalam Islam. Bahkan, Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai jihad yang paling utama:

“Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) kalimat keadilan di hadapan seorang penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud)

“Menyampaikan kalimat keadilan” ini bisa berbentuk banyak hal. Bagi seorang aparat di lapangan, menolak untuk memukul demonstran yang tidak bersalah adalah ‘kalimat keadilan’ dalam bentuk tindakan. Berani melaporkan praktik kekerasan yang tidak perlu kepada atasannya yang lebih tinggi atau lembaga pengawas adalah bentuk ‘kalimat keadilan’ yang lain. Ini adalah jihad yang sunyi, tidak terlihat oleh kamera, tapi disaksikan oleh Allah SWT.

Profesionalisme yang Berlandaskan Nurani

Lalu, bagaimana jalan tengahnya bagi seorang aparat yang terjebak dalam dilema ini? Apakah harus langsung resign? Tentu tidak selalu. Ada jalan tengah yang bisa ditempuh, yaitu menjalankan tugas dengan profesionalisme yang dilandasi oleh adab dan nurani Islami:

  1. Fokus pada Perlindungan, Bukan Intimidasi: Ubah mindset dari ‘menghadapi musuh’ menjadi ‘melindungi semua warga’. Tugas utamanya adalah memastikan aksi berjalan aman, baik bagi demonstran, masyarakat umum, maupun aparat sendiri.
  2. Praktikkan De-eskalasi: Utamakan pendekatan komunikatif dan persuasif. Banyak studi menunjukkan bahwa kekerasan seringkali bisa dihindari dengan dialog yang baik.
  3. Gunakan Kekuatan Secara Terukur dan Terpaksa: Kekerasan adalah opsi terakhir dari yang paling terakhir, dan hanya boleh digunakan jika ada ancaman nyata terhadap nyawa, bukan sekadar untuk membubarkan kerumunan.
  4. Bersandar pada Doa dan Niat yang Tulus: Sebelum bertugas, luruskan niat. “Ya Allah, aku bertugas hari ini untuk menjaga keamanan dan mencegah pertumpahan darah karena-Mu.” Niat ini akan menjadi perisai dari perintah-perintah yang menyimpang.

Dengan cara ini, seorang aparat tetap bisa menjalankan kewajiban profesionalnya tanpa harus mengorbankan iman dan nuraninya.

Kesimpulan

Sahabat, Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi robot tanpa nurani. Ketaatan kepada pemimpin memang penting, tapi ia bukanlah ketaatan buta yang menabrak rambu-rambu keadilan dan kebenaran. Batasannya sangat jelas, yaitu tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.

Menjadi taat pada pemimpin yang zalim bukanlah ajaran Islam, melainkan sebuah penyimpangan yang harus kita luruskan bersama. Aparat, sebagaimana kita semua, adalah hamba Allah yang punya akal, hati, dan tanggung jawab moral di hadapan-Nya.

Kisah-kisah aparat yang berani menunjukkan sisi kemanusiaannya, yang menolak perintah zalim, seharusnya menjadi teladan bagi kita semua. Mereka bukan hanya setia pada sumpah jabatan, tetapi yang lebih utama, mereka setia pada sumpahnya sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Dan pada akhirnya, itulah ketaatan yang hakiki.

Saat Aparat Dilema, Kita Jangan Ikut Dilema untuk Berbuat Baik!

Melihat dilema yang dihadapi aparat di lapangan seringkali membuat hati kita ikut teriris. Kita melihat ada dua pihak yang sama-sama rakyat Indonesia, berhadapan dalam situasi yang tegang. Semangat keadilan dan empati kita pun tergugah.

Daripada hanya bisa bersimpati atau marah di media sosial, ada cara yang lebih konkret untuk menyalurkan semangat keadilan itu. Jika di jalanan ada rakyat yang ‘terzalimi’ oleh kebijakan, di gang-gang sempit dan pelosok desa, ada rakyat lain yang ‘terzalimi’ oleh kemiskinan dan kelaparan setiap hari.

Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk tidak terjebak dalam dilema. Kami memberikanmu jalan lurus untuk langsung menolong mereka yang paling lemah dan tertindas.

Saat kamu berdonasi melalui kami, kamu sedang mengambil peran yang jelas yaitu berpihak pada kaum dhuafa. Kamu tidak perlu ragu, tidak perlu dilema. Setiap rupiahmu akan menjadi makanan bagi yang lapar, beasiswa bagi anak yatim, dan harapan bagi mereka yang nyaris putus asa.

Yuk, ubah rasa empatimu menjadi aksi nyata yang tanpa dilema! Salurkan donasi terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Mari kita buktikan bahwa di tengah segala ketidakpastian, kepedulian kita adalah hal yang paling pasti.

Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah ini untuk informasi lebih lanjut

Barcode Nomer CS 2025 (Yuli)

“Menebar Sejuta Kebaikan”

Tinggalkan komentar