Teladan Pemimpin Adil Islam, Saat Tangisan Umar ‘Menampar’ Penguasa Kini

Sahabat, di tengah hiruk pikuk politik saat ini, sosok pemimpin adil Islam seringkali terasa seperti dongeng dari masa lalu. Kita merindukan pemimpin yang hatinya benar-benar terhubung dengan penderitaan rakyat, bukan sekadar pandai beretorika.

Untungnya, sejarah Islam telah mengabadikan teladan nyata dalam diri Umar bin Khattab RA. Beliau, sang khalifah kedua, tidak hanya memimpin dari balik istana, tetapi turun langsung ke gang-gang sempit di malam hari, memastikan tidak ada satu pun perut yang kosong di wilayah kekuasaannya.

Oleh karena itu, kisah Umar yang menangis karena takut ada rakyatnya yang kelaparan bukanlah sekadar cerita pengantar tidur. Kisah ini adalah sebuah standar, cermin, sekaligus ‘tamparan’ keras bagi siapa pun yang hari ini memegang amanah kepemimpinan. Mari kita selami kembali kisah agung ini dan petik pelajarannya yang luar biasa relevan untuk kita di zaman sekarang.

‘Blusukan’ di Malam Hari

Suatu malam yang sunyi di Madinah, saat sebagian besar orang telah terlelap, Khalifah Umar bin Khattab tidak tidur. Beliau menyelinap keluar rumah sendirian, tanpa pengawal, tanpa sorotan kamera. Ini adalah rutinitasnya, yaitu melakukan ‘blusukan’ senyap untuk melihat langsung kondisi nyata rakyatnya, bukan sekadar membaca laporan indah dari para gubernur.

Di tengah perjalanannya, dari kejauhan beliau mendengar suara tangisan anak-anak yang menyayat hati. Suara itu menuntunnya ke sebuah gubuk tua yang reyot. Dengan hati-hati, Umar mengintip dari celah dinding. Pemandangan di dalam membuat hatinya teriris, ada seorang ibu sedang mengaduk-aduk isi periuk di atas api, sementara tiga anaknya merengek kelaparan di sekelilingnya.

Umar mendekat dan mengucapkan salam dengan lembut. “Wahai Hamba Allah, mengapa anak-anakmu menangis?

Sang ibu, yang tidak mengenali bahwa yang bertanya adalah sang khalifah, menjawab dengan suara lirih penuh keputusasaan, “Mereka kelaparan.

Lalu, apa yang engkau masak di dalam periuk itu?” tanya Umar lagi.

Jawaban sang ibu adalah sebuah pukulan telak bagi sang pemimpin. “Tidak ada apa-apa. Di dalam periuk ini hanya ada air dan beberapa batu. Aku melakukan ini hanya untuk menenangkan mereka, agar mereka mengira aku sedang memasak makanan sampai mereka lelah dan tertidur.

Mendengar itu, dunia serasa runtuh bagi Umar. Beliau, seorang pemimpin besar yang ditakuti musuh-musuhnya, tidak sanggup menahan air matanya. Beliau merasa gagal. Di bawah kepemimpinannya, di ibu kota negaranya, ada seorang ibu yang harus ‘menipu’ anaknya dengan merebus batu karena tidak ada makanan.

Tanpa banyak bicara, Umar segera berlari kembali ke Baitul Mal (gudang logistik negara). Beliau tidak menyuruh ajudannya. Beliau memanggul sendiri karung gandum yang berat itu di punggungnya. Ketika seorang sahabatnya menawarkan bantuan, Umar menolaknya dengan kalimat yang menusuk, “Apakah engkau juga akan memikul bebanku di hari kiamat nanti?

Beliau kembali ke gubuk itu, memasak gandum itu sendiri, dan menyuapi anak-anak itu dengan tangannya sendiri hingga mereka kenyang, tertawa, lalu tertidur pulas.

Rasa Takut yang Mulia

Setelah semua selesai, Umar tidak langsung pulang. Beliau duduk di dekat sisa api, menatap wajah polos anak-anak yang tertidur. Sahabat yang menemaninya bertanya, mengapa beliau melakukan semua ini sendirian. Jawaban Umar adalah inti dari seluruh pelajaran ini:

“Aku takut Allah akan menuntut pertanggungjawabanku di hari kiamat karena telah membiarkan mereka kelaparan di bawah kepemimpinanku.”

Inilah ciri utama seorang pemimpin adil Islam, rasa takutnya kepada Allah jauh lebih besar daripada rasa takutnya kepada manusia atau kehilangan jabatan. Beliau sadar betul bahwa setiap kebijakan, setiap butir beras, dan setiap tetes air mata rakyatnya akan menjadi bagian dari ‘audit’ di akhirat kelak.

Kepemimpinan dalam Islam. Antara Amanah dan Hisab yang Mengerikan

Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sebuah privilese, melainkan beban yang sangat berat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seorang pemimpin adil Islam tidak hanya memikirkan proyek-proyek mercusuar atau angka pertumbuhan ekonomi di atas kertas. Indikator Kinerja Utama (IKU) atau Key Performance Indicator (KPI) seorang pemimpin Muslim adalah memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada yang terzalimi, dan tidak ada yang haknya terabaikan.

Umar bin Khattab mengajarkan kita bahwa keberhasilan sebuah pemerintahan tidak diukur dari seberapa megah istananya, tetapi dari senyum anak yatim yang bisa tidur nyenyak dan perut janda miskin yang tidak lagi kosong. Standar ini sangat relevan untuk mengkritik para pemimpin hari ini yang seringkali lebih sibuk dengan pencitraan di media sosial daripada memastikan bantuan sosial benar-benar sampai ke tangan yang tepat.

Empati Menjadi Syarat Wajib, Bukan Sekadar Sifat Tambahan

Kisah Umar adalah masterclass tentang empati. Empati bukan sekadar merasa kasihan (pity), tapi kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain seolah-olah itu terjadi pada diri kita sendiri, yang kemudian mendorong kita untuk bertindak. Umar tidak hanya mengirim bantuan, beliau merasakan langsung beratnya karung gandum dan panasnya api saat memasak.

Dalam kepemimpinan Islam, empati bukan sifat ‘bonus’, melainkan syarat mutlak. Seorang pemimpin yang tidak punya empati akan mudah terjebak dalam kebijakan-kebijakan teknokratis yang dingin dan tidak manusiawi. Mereka akan melihat rakyat hanya sebagai angka dan statistik, lupa bahwa di balik setiap angka itu ada kehidupan, harapan, dan penderitaan.

Pertanggungjawaban Akhirat Sebagai Pengingat Paling Kuat

Kisah Umar juga mengingatkan kita bahwa kepemimpinan bukan hanya soal perebutan kekuasaan di dunia, tetapi amanah yang akan dihisab di akhirat. Rasulullah ﷺ pernah memberikan peringatan yang sangat keras kepada sahabat Abu Dzar RA tentang bahaya jabatan:

“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau ini lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah. Dan pada hari kiamat, ia akan menjadi sumber penyesalan dan kerugian, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya.” (HR. Muslim)

Bagi seorang pemimpin adil Islam, kesadaran akan hisab (perhitungan amal) ini menjadi ‘rem’ moral yang paling kuat. Sebelum menandatangani sebuah kebijakan, ia akan berpikir ribuan kali: “Bagaimana aku akan menjawab ini di hadapan Allah jika ternyata kebijakan ini menyusahkan rakyatku?

Baca Juga: Ini Pertanggungjawaban Pemimpin di Akhirat yang Bikin Merinding

Pelajaran Praktis untuk Pemimpin Zaman Sekarang

Kisah Umar bukanlah dongeng. Ia adalah kurikulum kepemimpinan yang bisa diterapkan hari ini:

  1. Turun Langsung ke Lapangan (Blusukan yang Tulus). Jangan hanya mengandalkan laporan bawahan yang seringkali bersifat “Asal Bapak Senang”. Rasakan sendiri denyut nadi kehidupan rakyat.
  2. Prioritaskan Kebutuhan Dasar Rakyat Miskin. Sebelum membangun proyek-proyek mewah, pastikan dulu tidak ada warga yang kesulitan makan, mendapatkan air bersih, atau mengakses layanan kesehatan dasar.
  3. Berani Memikul Tanggung Jawab, Bukan Lempar Batu Sembunyi Tangan. Jika ada kegagalan, akui dengan jantan dan perbaiki. Jangan menyalahkan pihak lain untuk menutupi kelalaian diri sendiri.
  4. Jaga Integritas Anggaran. Pastikan setiap rupiah uang rakyat digunakan secara efisien dan tidak ada yang ‘bocor’ untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
  5. Bangun Komunikasi Dua Arah dengan Rakyat. Dengarkan keluhan dan aspirasi dari bawah. Jadikan kritik sebagai bahan evaluasi, bukan sebagai serangan yang harus dibungkam.

Langkah-langkah ini bukan sekadar strategi politik, tetapi cerminan dari akhlak seorang pemimpin adil Islam.

Penutup

Sahabat, kisah Umar bin Khattab yang menangis karena takut ada rakyatnya yang kelaparan adalah cermin untuk menguji hati setiap pemimpin hari ini. Jika Umar, yang memimpin wilayah kekuasaan yang sangat luas dan menghadapi tantangan zaman yang tidak mudah, masih turun langsung memanggul gandum untuk rakyat miskin, apa alasan pemimpin zaman sekarang untuk tidak peduli?

Seorang pemimpin adil Islam tahu bahwa jabatannya bukan sekadar prestise atau kekuasaan, tetapi tanggung jawab besar di hadapan Sang Pencipta. Dan di hari ketika semua kekuasaan dunia sirna, hanya amal nyata dan keadilan yang akan menjadi pembela di hadapan Allah.

Menjadi ‘Umar’ di Lingkungan Terdekatmu

Kisah Umar mengajarkan kita untuk tidak menunggu. Sambil kita berdoa dan berharap lahirnya para pemimpin yang adil, kita sendiri bisa menjadi ‘Umar’ dalam skala kecil di lingkungan kita. Kita bisa menjadi ‘pemimpin’ bagi diri kita sendiri untuk lebih peka terhadap penderitaan sesama.

Di sekitar kita, ada banyak ‘ibu dan anak-anak yang merebus batu’ dalam bentuk yang berbeda seperti tetangga yang diam-diam menahan lapar, anak yatim yang putus sekolah karena biaya, atau lansia yang hidup sebatang kara.

Di Yayasan Senyum Mandiri, kami mengajakmu untuk meneladani aksi nyata Umar bin Khattab. Kami adalah ‘gudang baitul mal’ modern yang siap membantumu menyalurkan ‘gandum’ kepedulianmu kepada mereka yang paling membutuhkan.

Setiap donasimu akan kami ubah menjadi paket sembako yang mengenyangkan perut yang lapar, beasiswa yang menyalakan harapan anak yatim, dan bantuan untuk para dhuafa. Ini adalah cara kita untuk memastikan, setidaknya dalam jangkauan kita, tidak ada lagi yang harus ‘merebus batu’.

Yuk, jangan hanya mengagumi Umar. Mari kita teladani semangatnya! Salurkan sedekah terbaikmu melalui Senyum Mandiri. Jadilah jawaban atas doa mereka yang membutuhkan, dan semoga ini menjadi pemberat timbangan kebaikan kita di akhirat kelak.

Klik Disini atau scan QR Barcode dibawah untuk informasi lebih lanjut

“Menebar Sejuta Kebaikan”

Tinggalkan komentar